SEJARAH, WISATA, WISATA ZIARAH

Wisata Ziarah di Cirebon Dikelola Sekadarnya

CIREBON–Salah satu opsi branding pariwisata Kota Cirebon adalah City of Thousand Pilgrimage. Kira-kira artinya; kota dengan seribu tempat ziarah. Frasa ini masih jadi perdebatan, terutama mengenai arti kata pilgrimage yang dianggap kurang tepat mewakili tempat ziarah. Di luar perdebatan itu, bagaimana sesunggunya kondisi situs yang bakal dijadikan ikon destinasi wisata ziarah?  Juru Kunci Situs Petilasan Sunan Kalijaga Raden Edy mengatakan, situs tersebut masih jauh dari kata layak. Tidak ada tempat yang disediakan untuk para pengunjung yang datang. Sangat minim fasilitas. Pengunjung juga bisa memanfaatkan masjid atau area petilasan untuk sekedar duduk duduk dan beristirahat. “Untuk dikatakan sebagai tempat wisata ziarah masih jauh,” ujarnya kepada Radar Cirebon.Sementara itu, untuk biaya operasional pengelola hanya mengandalkan biaya swadaya dan  sumbangan sukarela dari para pengunjung. Tentunya hal itu sangat disayangkan mengingat situs tersebut merupakan salah satu bukti sejarah keberadaan walisongo.Menurut Edy, untuk hari hari biasa peziarah yang datang hanya sekitar 50 orang saja. Lonjakan biasanya terjadi menjelang peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Sehari bisa 15 bus yang datang. Masjid Merah Panjunan kondisinya juga tidak jauh berbeda. Masjid yang dibangun sekitar tahun 1480 itu secara fisik terlihat kokoh. Namun untuk daya tarik wisata, masih minim. Pengurus Masjid Merah Panjunan, Ipan mengatakan, peziarah yang datang jumlahnya tidak menentu. Kebanyakan pengunjung ini bukan wisatawan. Tapi memang peziarah. Biasanya menghabiskan waktu untuk berzikir. Meski ada juga yang datang sekalian berkunjung ke Keraton Kasepuhan. “Paling kalau mereka bertanya, ini masjid dibangun oleh siapa. Dari kapan fungsinya untuk apa. Ya saya kasih tau,” ucapnya. Untuk keperluan operasional, pengurus dan pengelola Masjid Merah Panjunan tidak menerapkan sistem tiket. Siapapun boleh berkunjung. Sehingga untuk keperluan operasional, seperti untuk biaya kebersihan dan kebutuhan lainya, hanya mengandalkan sumbangan. Kondisi lebih baik bisa dilihat di komplek Keraton Kasepuhan. Kepala Bagian Pemandu Wisata Badan Pengelola Keraton Kasepuhan, Raden Muhammad Hafid Pemadi, situs yang menjadi favorit para peziarah di komplek Keraton Kasepuhan adalah Masjid Agung Sang Cipta Rasa dan Dalem Agung Pakungwati. Rata rata pada hari biasa pengunjung yang datang 500 orang/hari. Sementara saat hari libur pengunjung yang datang bisa mencapai 1 ribu orang. Biasanya dari rombongan majelis taklim yang ziarah ke petilasan Dalem Agung Pakungwati peninggalan Pangeran Cakrabuana. “Ada yang tawasul, tahlil. Ada yang mandi dan ngambil air,” ucapnya Sumbernya dari sini

SEJARAH, SITUS CIREBON

Kisah mbah kuwu sangkan

Cirebon merupakan salah satu daerah sentral penyebaran Islam di Jawa Barat. Selama ini masyarakat masyhur hanya mengenal Syarif Hidyatullah atau Sunan Gunung Jati sebagai tokoh utama penyebar Islam di Jawa Barat, salah satunya di Cirebon. Tetapi jika ditelusuri lebih jauh, tokoh babad alas Islam di Cirebon atau orang yang pertama kali membangun pondasi keislaman adalah Mbah Kuwu Sangkan (lahir sekitar 1423 masehi). Atas peran sentralnya itu, Tim Anjangsana Islam Nusantara STAINU Jakarta bergerak menelusuri jejak Mbah Kuwu di daerah Cirebon Girang, Kecamatan Talun, Kabupaten Cirebon, Senin (23/1/2017). Menurut Peneliti Pusat Kajian Cirebon (Cirebonesse) IAIN Syekh Nurjati Mahrus el-Mawa, Mbah Kuwu merupakan paman dari Syarif Hidayatullah. “Masyarakat mengenal Mbah Kuwu sebagai uwa-nya Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati,” ujar Mahrus yang juga Dosen Pascasarjana STAINU Jakarta ini. Dalam berbagai literatur menurut Mahrus, Mbah Kuwu mempunyai 5 nama yaitu Pangeran Cakrabuana, Walang Sungsang, Haji Abdullah Iman, Syekh Somadullah, dan Mbah Kuwu Sangkan Cirebon Girang itu sendiri. Mbah Kuwu Sangkan terlahir tiga bersaudara, yakni Mbah Kuwu Sangkan, Raden Kiansantang, beserta Nyai Rarasantang dari pasangan Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang. Sebagai Putra Mahkota, Mbah Kuwu mewarisi sifat kepemimpinan ayahandanya, Prabu Siliwangi. Hal ini terbukti dari pencapaiannya yang berhasil menduduki takhta Cirebon di bawah Kerajaan Pasundan yang saat itu dipimpin Raja Galuh, dan Mbah Kuwu merupakan raja pertama. Perjuangan Mbah Kuwu membangun Cirebon dan menyebarkan Islam dimulai pada usianya yang kala itu masih menginjak 25 tahun. Ia mulai berdakwah, hingga mencapai puncaknya saat ia menduduki singgasana kerajaan Cirebon, dari situ ia memiliki kekuatan untuk memperluas wilayah dakwahnya. Semasa hidup, Mbah Kuwu memiliki dua istri, yakni Nyi Endang Golis dan Nyai Ratna Lilis. Dari pernikahannya dengan Nyi Endang Golis dianugerahi keturunan Nyi Pakung Wati yang kelak menjadi salah satu pendamping Syekh Syarif Hidayatullah. Syekh Syarif Hidayatullah sendiri merupakan putra dari Nyai Rarasantang, adik Mbah Kuwu Sangkan. Sedangkan dari pernikahannya dengan Nyai Ratna Lilis dianugerahi seorang putra bernama Pangeran Abdurrokhman. Menurut beberapa catatan sejarah, Mbah Kuwu Sangkan menyukai sejumlah hewan, yakni kucing Candra Mawa, Macan Samba, dan Kebo Dongkol Bule Karone. Ketiga hewan tersebut diyakini sudah punah dan sekarang menurut kepercayaan orang setempat ketiga hewan itulah yang menjaga makam Mbah Kuwu. Bentuk dari ketiga hewan tersebut dapat dilihat pada patung-patung hewan yang ada di sekitar lokasi makam. Mbah kuwu menetap di daerah Cirebon Girang, Talun sampai akhir hayatnya pada tahun 1500-an Masehi atau abad 16 awal. Sumber sejarah lain menyebut, Mbah Kuwu Sangkan wafat tahun 1529 Masehi. Pelopor kebudayaan Pasundan Islami Selain Panglima Ulung, Mbah Kuwu Sangkan adalah Pelopor Kebudayaan pasundan Islami. Dalam masa 4 abad lamanya yaitu menaklukkan Pajajaran, Keraton Ayahandanya yang Hindu. Karena itu ia diberi gelar kehormatan Pangeran Cakrabuwana. Pangeran Cakrabuwana mulai memerintah Cirebon pada 1 Suro tahun 1445 Masehi. Waktu itu ia belum mencapai usia 22 tahun. Memang masih terlalu muda, tetapi ia mampu memegang kendali pemerintahan selama 38 tahun sejak tahun 1445 Masehi hingga tahun 1479 Masehi. Mbah Kuwu juga memiliki kriteria kepeloporan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Peradaban yang sangat tinggi. Ia senantiasa menaruh perhatian besar terhadap berbagai macam Ilmu Pengetahuan, Sastra dan Seni Budaya, melestarikan dan mengembangkannya. Ayahnya, Prabu Siliwangi telah mencurahkan perhatian dan mendidiknya dengan Ilmu kemiliteran, politik dan kesaktian sejak kecil. Demi mencerdaskan anaknya, ia diserahkan kepada ulama-ulama besar pada zamannya yang menguasai bidang kajian Ilmu Agama Islam, Sastra, Falak dan Kesaktian. Mereka adalah Syekh Qurotullain, Syekh Nurjati, Syekh Bayanillah, Ki Gede Danuwarsi, Ki Gde Naga Kumbang, dan Ki Gde Bango Cangak. Dakwah Islam mulai menyebar luas di daerah Cirebon, Kuningan, Majalengka, Indramayu, Subang, Sumedang, Purwakarta, Karawang, Priangan, Bogor yang kemudian mengalir ke Banten. Dari proses dakwah tersebut, wilayah Keraton Cirebon menjadi satu antara bagian utara dan selatan, antara Cirebon dan Banten. Kemudian, Ibu Kota Kerajaan Cirebon dipindahkan ke Lemah Wungkuk. Di sana lalu didirikan Keraton baru yang dinamakan Keraton Pakungwati. Beberapa sumber setempat menyebut, pendiri Keraton Cirebon adalah Pangeran Cakrabuwana. Namun, orang yang berhasil meningkatkan statusnya menjadi sebuah Kesultanan adalah Syekh Syarif Hidayatullah yang oleh Babad Cirebon dikatakan identik dengan Sunan Gunung Jati. Sumber ini juga mengatakan bahwa Sunan Gunung Jati adalah keponakan dan pengganti Pangeran Cakrabuwana atau Mbah Kuwu Sangkan. Di depan makam sebelum memasuki gerbang, ada bangunan bernama Palinggihan Ichsanul Kamil. Bangunan berwarna merah dan dikelilingi oleh pagar bercorak khas Islam di wilayah Cirebon itu merupakan tempat meditasi Mbah Kuwu Sangkan untuk berinteraksi dengan Tuhannya. Palinggihan sendiri berasal dari kata lungguh yang berarti “duduk”. (Fathoni Ahmad) Sumbernya ada disini

SEJARAH, WISATA

Sejarah Majalengka

Menyelisik Awal Berdirinya Kabupaten Majalengka Sejarah berdirinya Kabupaten Majalengka menemukan titik terang baru. Hal itu seiring dengan terpecahkannya tulisan hanacaraka jawa berbahasa Cirebon kuno yang terdapat di salah satu nisan di pemakaman kuno yang terletak di daerah perbukitan Desa Gunung Wangi, Kecamatan Argapura. Dari hasil penelusuran Komunitas Grup Majalengka Baheula (Grumala), ditemukan bahwa secara tata pemerintahan modern Kabupaten Majalengka lahir pada tahun 1840. Hal itu atas pertimbangan bahwa sebelum menjadi Kabupaten Majalengka, telah ada Kabupaten Maja yang menjadi cikal bakal dari Kabupaten Majalengka yang ada sekarang ini. Kabupaten Maja berdiri pada 1819, dipimpin oleh Rd. Aria Adipati Suria Adiningrat sebagai bupati. Dari catatan itu diketahui bahwa dia menjadi Bupati Maja sekitar 20 tahun, dari 1819 sampai 1839. Setelah itu, pusat pemerintahan dipindah ke Majalengka hingga saat ini. Hal itu juga didukung dari beberapa sumber lain, di antaranya Staatblad Belanda. “Tulisan nama Kanjeng Kiai Raden Aria Adipati Suria Adi Ningrat yang terdapat pada nisan berhuruf hanacaraka jawa ini berhasil dibaca oleh Kang Tarka Sutatahardja dan Kang Rawin Rahardjo yang sengaja didatangkan dari Indramayu,” kata salah satu penggiat Grumala, Naro. Kepemimpinan Rd. Aria Adipati Suria Adiningrat di Kabupaten Maja yang kemudian diubah menjadi Kabupaten Majalengka ada beberapa versi. Sebagian versi mengatakan bahwa dia memimpin kabupaten itu hingga 1839. Ada juga yang menyebutkan bahwa masa kepemimpinannya hingga 1849. Merujuk versi kedua, selain menjadi bupati saat pemerintahan masih di Maja, dia juga sempat memimpin saat pusat pemerintahan berganti ke Majalengka. “Yang jelas berdasarkan keterangan yang ada, setelah jadi bupati Majalengka, dia pindah ke Cirebon untuk kemudian jadi bupati lagi di sana. Periode itu masih di bawah pemerintahan kolonial. Kepemimpinanya di sana cukup singkat, dan akhirnya kembali ke Maja,” jelas Naro Setelah tidak lagi memimpin, Rd. Aria Adipati Suria Adiningrat mengabdikan dirinya untuk mengajar ngaji kepada masyarakat di Maja. Aktivitas itu dilakukannya hingga akhir hayatnya, pada 1852. “Di Cirebon, masa kepemimpinannya sangat singkat, berbeda saat di Majalengka. Setelah pindah ke Maja, dia jadi ulama dan orang di sana mengenal beliau dengan julukan Kanjeng Kiai atau Kiai Gede,” jelas dia. Terkait makamnya, disinyalir terletak di makam khusus untuk orang-orang penting. Bahkan, berdasarkan informasi dari warga sekitar, pemakaman itu sudah lama tidak lagi digunakan. “Sudah lama dan di sana juga memang tampak makam-makam kuno. Posisinya sendiri di atas di pegunungan. Itu mungkin dulunya semacam makam para raja,” ungkap dia. Dugaan bahwa makam itu merupakan makam kaum ningrat semakin kuat dengan adanya peninggalan-peninggalan yang masih tersisa. “Jika kita lihat-lihat, di sana ada batuan yang berbentuk meja dan tempat duduk juga ada bongkahan bata bata kuno, malah di tengah kompleks makam ada beberapa batu menhir tegak berdiri yang mungkin sebagai ciri bahwa di situ adalah makam-makam ningrat atau raja zaman dulu,” papar Naro Terpecahkannya tulisan yang menunjukkan bahwa pemerintahan Kabupaten Maja yang merupakan cikal bakal dari Kabupaten Majalengka dimulai pada 1819, bisa menjadi bahan untuk mengkaji ulang tentang sejarah kabupaten itu. Sebab, selama ini masyarakat luas menganggap bahwa Kabupaten Majalengka berusia 528 tahun. Hal itu diketahui dari angka yang muncul pada HUT Kabupaten Majalengka tahun lalu. Di sisi lain, jika merujuk awal masa pemerintahan Bupati Majalengka pertama, dengan merujuk catatan kuno itu, maka usia Kabupaten itu di angka 179 tahun, jauh lebih muda dari yang selama ini diketahui masyarakat umum. “Diharapkan banyak menimbulkan pertanyaan, untuk kemudian dilakukan kajian-kajian. Karena kalau berdasarkan catatan itu, usia Kabupaten Majalengka sangat berbeda dengan yang selama ini dikenal,” kata dia. Senada dengan Naro, penggiat Grumala lainnya, Ika Djatnika berharap dari pengungkapan itu bisa ditindaklanjuti dengan penelitian lebih mendalam yang melibatkan berbagai unsur. “Karena prinsipnya sejarah harus berdasarkan data dan fakta,” tegas dia. Komunitas Grumala yang diketuai Andi Iman beberapa kali telah sukses mengungkap penemuan yang berkaitan dengan sejarah Majalengka. Selain tentang Majalengka di masa pemerintahan kolonial, komunitas ini beberapa kali telah menelusuri peninggalan purba. Bahkan, saat dilakukan penelitian oleh para ahli, mereka kerap dilibatkan untuk melakukan pendampingan. berdasarkan sumbernya dari sini

SEJARAH

Kawasan Segitiga Emas Cirebon

Serba Serbi Segitiga Emas, Kawasan Pecinan Cirebon Sejak Abad 15 Warga Tionghoa di Kota Cirebon sangat berharap Pemkot Cirebon bisa mewujudkan penataan kawasan pecinan. Karena selain menjadi wisata sejarah, juga untuk bisa meningkatkan perekonomian. Salah seorang warga Tionghoa Kota Cirebon, Sandi Yudha mengatakan, dirinya mempunyai harapan agar penataan kawasan pecinan bisa segera terwujud di bawah pemerintahan yang baru. “Pecinan itu kan mempunyai nilai histori bagi kami warga Tionghoa di Kota Cirebon,” ujarnya kepada Radar Cirebon. Sedari dulu, kawasan pecinan Cirebon memang penuh hiruk-pikuk aktivitas ekonomi. Sejarahnya tak bisa lepas dari orang-orang Tionghoa yang kerap dicap spesialis dunia perdagangan. Banyak orang Tionghoa berdatangan pada masa awal Batavia dibangun oleh kongsi dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Sebagaimana dicatat dalam “Hikayat Jakarta” (1998) karya Willard Hanna dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008) oleh Benny Setiono, Gubernur Jenderal VOC yang berkuasa hingga 1929, Jan Pieterszoon Coen, percaya bahwa orang-orang Tionghoa adalah “… bangsa yang ulet, rajin dan suka bekerja… Tak ada tenaga yang lebih cocok untuk tujuan kita atau yang dapat dikerahkan dengan sama mudahnya selain orang Tionghoa.” Maka, tak heran banyak komunitas orang Tionghoa kemudian tinggal di sekitar benteng Belanda. Kawasan Pecinan awal terdapat di sepanjang Jl. Pecinan Cirebon (sekarang) yang berdekatan dengan Keraton Keprabonan dan Kanoman. Tahun 1970an di sepanjang Jl. Pecinan masih terdapat rumah-rumah khas etnis Tionghoa dengan ciri relief dua ekor naga yang bertolakbelakang pada bagian atap luar. Sejak jalan itu diperlebar awal tahun 1980an ciri khas dua ekor naga tersebut dihilangkan. Apalagi dengan adanya peraturan yang rasis dari Pemerintah Orde Baru yang melarang memajang dan menggelar karya seni dari mancanegara, termasuk China. Pasuketan – Pekiringan – Pekalipan merupakan segitigas emas untuk bisnis kalangan etnis Tionghoa. Di sekitar daerah itu terdapat rumah ibadah mereka, berupa kelenteng maupun vihara. Sebut saja Kelenteng (Lithang) Talang (berbelahan dengan PT.BAT) dan Vihara Welas Asih yang berhadapan dengan PT BAT. Di bagian barat Pasar Kanoman terdapat vihara Balai Keselamatan. Di bagian timur terdapat Pasar Talang, yakni “pasar dedean” yang menjajakan barang bekas. Istilah “talang” sendiri diartikan sebagai “talangan” atau pengganti sementara untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan nama “Pasuketan” diduga berasal dari kata “suket” yang berarti rumput. Pada masa kejayaan Kesultanan Cirebon, daerah tersebut dijadikan tempat atau gudang rumput (bahasa Cirebon = suket) hewan-hewan peliharaan kesultanan. Di sekitar itu terdapat pula masjid Jagabayan yang menurut pewarisnya (alm. KH. Abdul Qodir Wahab – saat masih hidup) merupakan pos penjagaan untuk kesultanan. Namanya juga “Jagabayan” yang berarti menjaga bahaya atau serangan dari luar. Bangunan-bangunan pertokoan di sepanjang Jl. Pasuketan sekira tahun 1920an sudah mencerminkan adanya pengaruh art deco dari China. Lihat saja tiang-tiang besar penyangga bangunan sangat berbeda dengan tiang penyangga masa klasik kesultanan. Pengaruh China bisa dilihat dari tiang berbentuk persegi panjang, sedangkan pada masa klasik kesultanan Islam (baca Cirebon) berbentuk bulat panjang. Para rumah bangsawan keraton Cirebon saat ini masih tersisa di sekitar daerah tersebut. Kini wajah modern kompleks Pasuketan tidak lagi menampakkan sisa arsitektur art deco China yang indah. Setelah sepanjang jalan itu diperlebar pada awal masa orde baru, yakni pada masa Walikota Tatang Suwardi. Dampak dari pelebaran jalan tersebut juga menghancurkan bangunan lama digantikan dengan bangunan modern. Kota Cirebon sejak itu berubah wajah secara total. Bersebelahan dengan Jl. Pasuketan, terdapat jalan raya yang kini dikenal sebagai Jl. Pecinan. Jalan ini merupakan arah strategis menuju Keraton Kanoman, Kasepuhan dan Pengguron Kacirebonan. Pada masa lalu kompleks Pecinan memberikan warna yang khas bagi pertumbuhan kota itu sendiri. Sebagai bangsa perantau yang datang bersamaan dengan datangnya kaum Tionghoa ke Cirebon sekira abad ke-15, para perantau China itu memilih tempat strategis, yakni berdekatan dengan pusat pemerintahan. Pada sekira tahun 1960an, rumah-rumah berkepala naga masih nampak menghiasi bangunan sekitar itu. Namun sejak memasuki tahun 1970an seiring dengan modernisasi kota, kompleks Pecinan mulai kehilangan daya tariknya. Tak ada lagi kepala naga. Justru yang ada hanyalah bangunan-bangunan megah bertingkat. Kini para perantau bermata sipit dan dikenal sebagai Tionghoa itu telah menyatu dengan masyarakat setempat. Sisa-sisa kejayaannya masih bias dilihat saat perayaan imlek. Puluhan atraksi khas mereka, seperti barongsai, tari naga (liong), toapekong dan bag-bagi dodol China. Tata ruang kota sebenarnya sudah mulai tertata apik sejak dulu. (*) Sumbernya dari sini

SEJARAH, SITUS CIREBON

Sejarah Menara Air Cirebon dan Tertinggi di Asia Tenggara

Cirebon merupakan kawasan yang berada di Pantura Jawa Barat. Memiliki sejumlah peninggalan budaya dan catatan sejarah, fenomenal dari masa ke masa. Pengunjung yang berkunjung ke Cirebon, dari arah Kedawung menuju Tuparev akan bertemu dengan sebuah gerbang dengan latar belakang bangunan tinggi menjulang. Bertuliskan Selamat Datang di Kota Cirebon, bangunan tersebut merupakan menara air milik PDAM Kota Cirebon. “Bangunan atau gudang air itu sekarang jadi ikon Kota Cirebon,” kata sejarawan Cirebon Nurdin M Noer, Kamis 27 September 2018. Dia mengatakan, Menara Air Kota Cirebon tersebut hingga saat ini masih beroperasi. Dari informasi yang didapat, menara air tersebut mampu mengaliri debit air hingga 900 liter per detik. Menara air Tuparev tersebut diketahui memiliki catatan sejarah penting dalam perkembangan pembangunan Cirebon. Nurdin menyebutkan, bangunan dengan tinggi lebih dari 2 meter itu dibangun pada tahun 1961. “Saat itu wali kota-nya RSA Prabowo yang merupakan kader PKI menjabat 1961 sampai 1965 dibangun karena menara air yang sebelumnya sudah ada daya tampungnya kurang seiring dengan bertumbuhnya masyarakat,” ujar dia. Dari catatan yang didapat, sebelum dibangun menara air, pada tahun 1863 pemerintah kolonial mencoba membuat sumur artesis. Namun tidak diteruskan karena upaya percobaan penggalian sumur di Alun-alun Kejaksan dan beberapa tempat lainnya gagal. Pada 1878 diputuskan untuk mencari air bersih dari sumber yang ada di daerah Linggarjati. Semula debit air enam liter per detik kemudian ditampung pada tujuh bak penampungan. Untuk memperbesar debit air, pada 1889/1890 pemerintah mengganti pipa-pipa dengan lebih besar dengan debit 8,1 liter ditampung pada 43 penampungan. Pada 1917 Asisten Residen Cirebon mengusulkan kepada Direktur Laboratorium Kesehatan Gemeente untuk melakukan penelitian kualitas air bersih tersebut. Hasilnya menunjukkan, air bersih di Linggarjati kurang memenuhi syarat terutama pada musim penghujan. Akhirnya pemerintah kolonial mencari alternatif sumber air yang lain dengan meneliti kualitas air di Cipaniis, yang ternyata memenuhi syarat. “Dulu pakai sumur dan pompa tradisional juga air nya tidak keluar banyak dan tidak semua kawasan bisa dapat air dan sejak kejayaan PKI di Cirebon dibangunlah menara air,” kata dia. Lepas dari jaman kolonial Belanda, Pemerintah Kota Cirebon terus membangun daerah. Dia menyebutkan, di era Wali Kota RSA Prabowo, Cirebon menunjukkan prestasinya dengan membangun menara air. Dia mengatakan, Wali Kota Prabowo merupakan salah satu kader PKI yang berhasil membuat karya fenomenal. Bahkan, menara air tersebut hingga saat ini masih digunakan untuk menyalurkan air ke rumah warga Kota Cirebon. “Menara air ini pernah dianggap sebagai menara air tertinggi di Asia Tenggara,” sebut Nurdin. Seiring berkembangnya kondisi politik di Indonesia saat itu, pengaruh PKI perlahan hilang. Bahkan, dianggap sebagai partai oposisi terhadap pemerintah. Pemberontakan PKI pun terjadi, Wali Kota Cirebon Prabowo ditangkap, diadili hingga dijebloskan ke penjara. Bersama Bupati Cirebon Harun Zaenal Abidin pada tahun 1966. “Semasa Wali Kota Prabowo memimpin yang terlihat fenomenal ya menara air saja, selain itu hanya rutinitas program pembangunan pada umumnya,” kata dia. Dia mengakui, ada peran kader PKI dalam perkembangan pembangunan Kota Cirebon. Apalagi, PKI saat itu merupakan salah satu partai yang dominan dan dikenal rakyat. “Bahkan Wali Kota Prabowo dan Harun Zaenal Abidin punya pengaruh terhadap Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia,” sebut dia. Sejarah dari sini

SEJARAH, SITUS CIREBON

Ziarah ke Komplek Makam Sunan Gunung Jati, Tak Sembarang Orang Bisa Masuk

Menjelajah ke Komplek Makam Sunan Gunung Jati, Ternyata Tak Sembarang Orang Bisa Masuk Makam Sunan Gunung Djati Cirebon tak pernah sepi dikunjungi peziarah dari berbagai daerah di Indonesia. Terutama saat hari-hari besar Islam, Makam Sunan Gunung Djati akan dikunjungi ribuan peziarah. Memasuki bagian pertama, kita akan melihat makam-makan yang dikelilingi tembok bangunan berwarna putih. Bagian dalam kedua, kita harus melepas alas kaki dan ada banyak peziarah yang sedang berdoa. Sebagian lagi ada yang sedang berwudhu dari ari yang ada di komplek makam. Para peziarah yang sedang berdoa, berada tepat di depan pintu pertama memasuki Makam Komplek Sunan Gunung Djati. Namun, ada pintu dari samping yang tidak bisa dimasuki sembarangan orang. Hanya orang-orang tertentu yang dapat memasuki makam utama Sunan Gunung Djati. Memasuki makam utamanya, para peziarah harus mengenakan peci dan dilarang membawa KAMERA. Peziarah perempuan yang sedang menstruasi, dilarang masuk ke makam utama karena makam tersebut dianggap kawasan yang suci. Sebelum ke makam utama, kita akan melewati makam-makam lainnya. Ada sekitar tiga tangga untuk menuju makam utama tersebut. Temboknya dari bata yang tersusun rapi dan berwarna merah bata. Memasuki makam utama, sungguh sejuk dan begitu tentram. Di sana, ada sebuah bangunan berukuran sekitar 6 m x 6 m yang di dalamnya ada makam Sunan Gunung Djati sekitar 2,5 m x 1 m. Di samping kiri bangunan makam tersebut, ada Makam Pangeran Carkrabuana atau Mbah Kuwu Sangkan Cirebon.

SEJARAH, SITUS CIREBON

Makna Filosofis Sembilan Pintu di Situs Lawang Sanga Cirebon

TRIBUNJABAR.ID, CIREBON - Situs Lawang Sanga berada di belakang kompleks Keraton Kasepuhan Cirebon. Persis di tepi Sungai Kriyan, Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon. Sesuai namanya yang berarti pintu sembilan, di situs itupun terdapat sembilan buah pintu. Menurut Lurah Keraton Kasepuhan, M Maskun, bangunan Lawang Sanga mengandung makna filosofis yang tinggi. “Sembilan pintu itu menyimbolkan sembilan lubang yang ada pada tubuh manusia,” kata M Maskun, saat ditemui di Situs Lawang Sanga, Senin (1/10/2018). Di antaranya, dua lubang hidung, mulut, dua telinga, dua mata, dubur, dan kelamin. Ia mengatakan, lubang-lubang itu bermakna tentang kehidupan manusia. Selain itu, sembilan sering kali disebut-sebut sebagai angka yang sempurna. Sembilan pintu di situs itu masing-masing satu di depan, empat di samping, tiga di belakang, dan satu pintu lainnya berada di tengah. Dua patung macan juga tampak menghiasi gerbang masuk Situs Lawang Sanga. “Jadi situs ini melambangkan kehidupan seorang manusia,” ujar M Maskun. Situs yang dibangun pada 1677 itu dulunya merupakan pintu masuk Cirebon. Muara Sungai Kriyan menjadi kanal masuk bagi perahu yang datang dari jalur laut. Dari mulai para pedagang hingga para tamu Sultan Kasepuhan atau utusan kerajaan-kerajaan di nusantara. Muara Sungai Kriyan menjadi kanal masuk bagi perahu yang datang dari jalur laut. Dari mulai para pedagang hingga para tamu Sultan Kasepuhan atau utusan kerajaan-kerajaan di nusantara.

SITUS CIREBON, WISATA

Desa Astana dan Jatimerta Jadi Kampung Wirausaha

foto http://jabar.tribunnews.com Selasa 31 Januari 2017 tahun lalu Pemerintah Kabupaten Cirebon menetapkan dua desa di Kecamatan Gunungjati sebagai sebagai kampung wirausaha, Desa Astana dan Desa Jatimerta. Bupati Cirebon, Sunjaya Purwdisastra, mencanangkan kampung wirausaha yang dipusatkan di Balai Desa Astana, Kecamatan Gunungjati. Kadin UMKM Kabupaten Cirebon, Erus Rusmana, menyatakan dua desa ini merupakan kawasan daerah wisata religius. Karena itu,ia mengharapkan pelaku usaha kecil dan menengah di dua desa itu mampu menjadi penunjang destinasi wisata yang ada. Erus menambahkan, Desa Astana dan Desa Jatimerta dijadikan sebagai kampung wirausaha karena ada beberapa faktor di antaranya (karena) kedua desa itu relatif sudah banyak pelaku usaha kecil dan menengah. Menurutnya, sebelumnya, ada pembinaan, pemberian fasilitas, pelatihan, dan program bagi pelaku usaha kecil dan menengah di Desa Astana dan Desa Jatimerta. Erus mengharapkan dua kampung wisata itu menginspirasi munculnya kampung-kampung wirusaha baru. Kampung wirausaha adalah satu di antara delapan program unggulan Kabupaten Cirebon. Bupati Cirebon pun berharap kehadiran kampung wirausaha mampu mendorong pelaku usaha untuk lebih meningkatkan usahanya.  (setda.cirebonkab.go.id)

SENI BUDAYA, TRADISI

Mengungkap “Benang Merah” Para Leluhur Seniman Topeng Cirebon

Tari topeng lahir dan tumbuh berkembang dikalangan masyarakat Cirebon dan sekitarnya konon mulai dikenal sebelum agama Islam masuk ke Nusantara. Secara historis keberadaan seni topeng yang kita kenal kini adalah hasil pengembangan sang kreator ulung Sunan Kalijaga salah seorang Wali Sanga. Atas peranan tokoh inilah menyebarkan agama Islam di tanah Jawa mencapai keberhasilan, karena pada saat penyampaian dak’wah tentang ajaran agama Islam Beliaulah sebagai satu satunya yang menggunakan media kesenian sebagai sarananya. Sunan Kalijaga berdasarkan kepercayaan dikalangan para seniman dikenal sebagai sosok yang pandai memanfaatkan keadaan dan budaya tradisi masyarakat Jawa pada saat itu, yang banyak menyukai seni budaya Jawa yang diwariskan oleh para leluhurnya seperti;tembang, wayang, seni drama, dan tari. Kesenian tradisi ini sangat digemari hampir diseluruh masyarakat Jawa jauh sebelum Islam masuk ke tanah Jawa, namun nilai- nilai yang terkandung didalamnya masih dilandasi ajaran kepercayaan Jawa kuno dan Hindu/ Budha. Menurut cacatan sejarawan topeng RMP. Koesoemawardojo salah seorang cucu Susuhunan Pakubuwana IX menjelaskan bahwa , semula Sunan Kalijaga merancang pembuatan topeng tersebut berjumlah 9 buah tanpa dicat dan sangat halus, kemudian ditambah 20 buah selanjutnya ditambah menjadi 40 buah. Tokoh yang berjumlah sembilan ini merupakan bentuk tiruan dari wayang gedhog yaitu Panji Kasatriyan, Candrakirana, Gunungsari, Andaga, Raton (Seorang Raja), Klana, Denawa (raksasa), Reca ( sekarang disebut Tembem) dan Turas ( Penthul). Sudah tidak dapat dipungkiri lagi kepercayaan tokoh Sunan Kalijaga inilah yang menjadi keyakinan para seniman sebagai sosok sentral berkembangnya seni topeng ditanah Jawa pada umunya, khususnya di Cirebon. Selain sebagai pencipta topeng sosok Sunan Kalijaga berperan juga sebagai dalang wayang terkenal. Di wilayah Pajajaran ia dikenal dengan sebutan Ki Dalang Sida Brangti sedangkan diwilayah Tegal dikenal dengan sebutan Ki Dalang Bengkok, selanjutnya di sekitar Purbalingga tokoh ini dikenal dengan sebutan Ki Dalang Kumendung dan beberapa nama lain yang sederhana Ki Entol dan Ki Raka Brangsan. Di Cirebon tokoh ini mewariskan kemahirannya kepada putranya yaitu Sunan Panggung, namun ada juga yang menganggap tokoh Sunan Panggung ini adalah Sunan Kalijaga itu sendiri, namun ada juga yang mempercayai ini adalah sosok yang bebeda dengan sebutan Pangeran Panggung atau Sunan Panggung. Peranan Sunan Panggung inilah yang selanjutnya menurunkan ke beberapa tokoh penting seperti Pangeran Bagusan, Ki Gede Trusmi, dan Ki Gede Losari. Keberadaan sosok legendaris Sunan Panggung ini berperan besar mendorong lahirnya para seniman besar yang meneruskan warisan dari para murid Sunan Panggung yang dimotori oleh Pangeran Bagusan di sekitar Palimanan, Ki Gede Trusmi dan Ki Gede Losari di sekitar Losara hingga Brebes. SILSILAH LELUHUR DAN KETURUNAN SENIMAN TOPENG PALIMAN Menurut Wigandi Wangsaatmaja berdasarkan cacatannya di Cirebon sekitar abad 15 terdapat 4 orang tokoh dalang topeng ternama yang hidup pada jamannya begitu sangat tersohor merupakan para pewaris trah Pangeran Bagusan, Ki Gede Trusmi dan Ki Gede Losari. Seniman seniman handal dari garis keturunan Pangeran Bagusan menurunkan : Pangeran Nurkalam, Ki Bluwer, Ki Kertawangsa, Ki Bayalangu, Ki Kembang, Ki Hangga Sraya, Kitarum, Ki Sentor, Ki Kolab, Ki Gedog, Ki Semita, Ki Konya, dan Ki Wentar ( Ki Kudung). Dari tokoh besar ini selanjutnya menurunkan beberapa tokoh dalang topeng diera berikutnya seperti Ki Semita menurunkan para dalang topeng dan seni pedhalangan ternama seperti; Ki Payu sosok dalang yang piawai dalam menari topeng dan wayang kulit, Ki Wartama dalang wayang kulit, Ki Kadok Kencar dalang topeng sekaligus wayang kulit, Ki Kempi penatah wayang, Ki Ardi dalang wayang kulit, Ki Ken dalang wayang kulit, Ki Kendar, Ki Konya dalang topeng ayah dari Ki Wentar dan Ki Kasmaran seorang ahli karawitan. Kebesaran di garis keturunan Pangeran Bagusan ini selanjutnya diwariskan oleh sosok Ki Wentar atau Ki Kudung yang turut mengembangkan seni topeng di sekitar wilayah Palimanan dan sekitarnya, bahkan sosok inilah yang membawa kesenian ini tersohor di tanah Pasundan di era tahun 1900 san. Menurut Wigandi sebelum Ki Wentar dikenal malang melintang di kancah dunia topeng sebelumnya ada empat seniman besar yang cukup berhasil memwariskan ketrampilan menari kepada anak cucunya yaitu Ki Kawitan, Ki Miun, Ki Bluwer dan Ki Gumer. Ki Gumer inilah yang selanjutnya menurunkan seniman besar seperti Ki Kodik, Ki Konyar, dan Ki Gede Semita. Ki Koduk selanjutnya mewariskan ke para putranya Ki Giwang, Ki Gilap dan Ki Gunteng. Sedangkan Ki Gede Semita menurunkan kepada para putranya diantaranya adalah Ki Konya alias Ki Kontarut selanjutnya diturunkan ke Ki Kudung atau Ki Wentar. Sejajar dengan Ki Koduk, Ki Konyar dan Ki Gede Semita di kancah dunia kesenian topeng terdapat juga tokoh yang bernama Ki Dukat. Tokoh ini selanjutnya menurukan ketrampilan menari kepada lima anaknya seperti; Ki Sela, Ki Koncer, Nyi Sundung, Nyi Sarni, dan Nyi Sarinot diantara kelima anaknya yang cukup tersohor adalah Ki Koncer, tokoh ini lah menurut Wigandi sebagai pelopor terkenalnya seni topeng Cirebon di tatar Priangan. Menurutnya Ki Koncer lah yang banyak memberikan pengaruh berkembangnya tari topeng di Cirebon dan Priangan. Sementara Ki Wentar banyak memberikan pengaruh cukup besar diera berikutnya. Dua tokoh inilah yang selanjutnya melahirkan bentuk tari Kursus seperti tari Lenyepan, Gawil, dan lain lain kemudian dikembangkan oleh R. Cece Somantri. Keturunan Ki Koncer dan Ki Wentar ini selanjutnya diwariskan ke keluarga besar topeng Palimanan dan Bongas Majalengka dengan menurunkan dalang topeng ternama dijamannya seperti Nyi Sawati penari topeng, Ki Empek penatah wayang dan pembuat kedok, Ki Sana ahli gamelan dari garis keturunan Ki Dukat ke Ki Sela dan Ki Koncer. Dari garis keturunan Ki Wentar menurunkan para penari ternama seperti Nyi Mini, Nyi Nesih alias Dasih, Ki Saca, Nyi Ami dan Nyi Sudjinah.Dari garis keturunan Ki Wentar inilah para penerus topeng gaya Palimanan ini menjadi tersohor seperti Nyi Nesih dan Nyi Sudji. Salah seorang cucu Ki Wentar yang kini masih eksis melanjutkan ketrampilan menari topeng gaya Palimanan adalah Ki Sukarta sekaligus sebagai dalang wayang kulit yang kini tinggal di Desa Bongas Wetan Sumberjaya, Kabupaten Majalengka. SILSILAH DAN KETURUNAN SENIMAN TOPENG SLANGIT Digaris keturunan Pangeran Nurkaman juga terdapat beberapa seniman ternama yang nantinya akan menurunkan trah dalang topeng asal Slangit yang pangkalnya dari Ki Kertawangsa, Ki Bayalangu, Ki Tarub, Ki Anggasraya, Ki Rangkep, Ki Kawi, Ki Sawat, Ki Sijar, Ki Kadok, Ki Wardaya, Ki Wartama, Nyi Wuryati. Dari garis keturunan Nyi Wuryati yang menikah dengan Ki Arja selanjutnya menurunkan

SEJARAH, SENI BUDAYA, TRADISI

Kisah Angklung Bungko

Liputan6.com, Cirebon – Angklung merupakan alat musik bernada ganda yang berasal dari masyarakat Sunda Jawa Barat. Dalam perjalanannya, angklung juga memiliki catatan sejarah perkembangan Cirebon pada zaman Sunan Gunung Jati. Angklung menjadi salah satu alat musik yang dimainkan untuk hiburan hingga menjadi salah satu isyarat peperangan melawan Portugis. Filolog Cirebon Raffan S Hasyim mengatakan, Angklung Bungko yang berada di Desa Bungko, Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon memiliki kemiripan dengan angklung Blambangan di Banyuwangi, Jawa Timur. Naskah Serat Carubkanda yang ditulis Pangeran Abdul Hamid pada tahun 1813 mencatat pada abad ke-14 Sunan Gunung Jati pertama kali tiba di Cirebon disuruh oleh Tumenggung Cerbon yakni Pangeran Cakrabuana untuk meminta restu dan berkah kepada ulama yang lebih tua di tanah Jawa. “Tapi tidak ada satu wali pun yang memberi berkah, alasannya sama yaitu ‘Kamu sudah cukup, bahkan kalau perlu saya yang meminta berkah,” tutur lelaki yang akrab disapa Opan Safari itu, Kamis, 15 Maret 2018. Singkat cerita, saat Sunan Gunung Jati bertemu dengan Sunan Ampel, dia langsung mendapat restu. Sunan Ampel, kata Opan, menyuruh Sunan Gunung Jati untuk kembali ke Cirebon membantu Pangeran Cakrabuana. Dia mengatakan, saat itu, di pesantren milik Sunan Ampel terdapat dua murid kebanggaannya yang sedang bertapa, yakni Raden Jakataruna Veteran Angkatan Laut Majapahit dan Pangeran Surya. “Raden Jakataruna ini yang mendapat gelar Ki Gedeng Bungko beliau saat itu bertapa di pinggir laut siang dan malam, keduanya disuruh Sunan Ampel ikut Sunan Gunung Jati mengabdi di sana,” ujar Opan. Raden Jakataruna dalam berbagai pertempuran di Cirebon sangat memberikan pengaruh. Ki Gedeng Bungko, kata dia, mampu mengusir penjajah Portugis setelah berperang selama tiga hari. Di sela istirahat semasa peperangan, Ki Gedeng Bungko bersama pasukannya selalu bermain angklung. “Angklung tersebut bahan bambunya dikirim dari Kuningan yang notabene memiliki kedekatan dengan Sunan Gunung Jati. Ki Gedeng Bungko sendiri aslinya dari Banyuwangi,” ujar dia. Keunikan Angklung bungko Angklung Bungko menjadi alat musik yang digunakan oleh prajurit Cirebon saat istirahat disela peperangan melawan penjajah. Foto : (Liputan6.com / Panji Prayitno)Rekam jejak Ki Gedeng Bungko berjuang di Cirebon tidak hanya tercatat dalam sebuah naskah Serat Carubkanda. Para prajurit Ki Gedeng Bungko, kata dia, merekam perjalanan peperangan Ki Gedeng Bungko dalam sebuah tarian. Oleh karena itu, lanjut Opan, Angklung Bungko di Cirebon berbeda dengan angklung yang ada di masyarakat Sunda. Sementara beberapa tarian juga memiliki makna dan cerita tentang perjuangan Ki Gedeng Bungko. Seperti Tari Bebek Ngoyor yang merekam perjuangan Ki Gedeng Bungko menaklukan Sunda Kelapa bersama pasukan Cirebon dan Demak. Selain itu, Tari Ayam Alas, yakni tarian yang merekam saat Ki Gedeng Bungko menumpas istana aliran sesat yang didirikan oleh Ki Gedeng Kapetakan. “Istana aliran sesat Ki Gedeng Kapetakan saat itu banyak pengikutnya dan sempat menggoyahkan umat Islam Cirebon yang baru masuk Islam,” ujar dia. Rekam jejak Ki Gedeng Bungko memenangkan berbagai peperangan tersebut, kata Opan, membuat dirinya diberi jabatan sebagai Panglima Angkatan Laut Kerajaan Cirebon di era Sunan Gunung Jati. Ketua Kesenian Angklung Bungko Cirebon, Jaso mengatakan hingga saat ini warisan seni Angklung Bungko masih lestari. Hanya saja, ujar dia, warisan kesenian asal Desa Bungko tersebut belakangan minim jam terbang. Dia menyebutkan, keunikan Angklung Bungko Cirebon yakni terdapat tarian tradisional yang dilakukan oleh penari laki-laki. Dia menyebutkan, ada lima tarian pokok di seni musik Angklung Bungko yakni Tari Panji, Banteleo, Ayam Alas, Bebek Ngoyor, dan Blarak Sengkle. “Semua tarian itu ada ceritanya dan memang semacam tarian perang jadi tubuh penari tidak lunglai karena penarinya ya prajurit juga waktu zaman Ki Gedeng Bungko,” ujar dia. Sumbernya ada disini

Scroll to Top