BULAN Maulud memberkahi umat Islam satu ingatan penting
perihal sejarah dan muasal agamanya. Bulan yang mafhum dengan sebutan Rabi‘ul
Awwal itu menjadi fragmen waktu yang menandai tonggak kebermulaan Islam di
jazirah Arab. Kelahiran Muhammad, seorang nabi sekaligus juruwarta Tuhan, babak
awal bagi tegaknya Islam sebagai agama tauhid, meski embrionya sudah terpumpun
sejak kerasulan Ibrahim.
Salah satu bentuk ta‘dhim (penghormatan), jamak umat muslim
di Indonesia merayakan peringatan hari lahir nabi dengan membaca kisah nabi
(sirah nabawiyyah) sebagaimana akrab disebut muludan atau barzanji. Lazimnya
ritual keagamaan lainnya, peringatan Maulid Nabi menjadi "waktu
senggang" bagi muslim untuk merefleksikan hubungan antara dirinya dengan
agama yang dianutnya.
Ritual memang kerap tampak sebagai festival dan ingar-bingar
yang sarat kerepotan fisik maupun materi, tetapi perannya sangat fundamental
sebagai momentum bagi manusia mengenangkan sejarah spiritualitas di dalam
agamanya, sekaligus memperbaruinya. Ritual semacam maulid nabi juga eksis
beserta fungsi kohesi sosialnya di dalam masyarakat muslim.
Pengenangan sejarah spiritualitas memungkinkan seseorang
memperbarui hubungan antara diri dengan agamanya. Ritual mewujud dalam lakon
kreatif yang bersifat kolektif guna "melanggengkan" peristiwa-peristiwa
spiritual seraya meleburkannya ke dalam ruang-waktu kekinian. Peristiwa atau
sejarah menjadi jembatan penghubung manusia lintas generasi dengan eksistensi
atau makna agamanya.
Kisah ke Risalah
Maulid Nabi patut dirayakan sebagai agenda membaca makna
agama lewat kisah Nabi. Kisah merupakan elemen penting suatu agama--meski kisah
acap tak terlacak faktualitasnya sehingga menjadi mitologi. Risalah agama
Islam, sebagaimana agama-agama Ibrahimi lainnya, tidak lepas dari sokongan
kisah.
Menelisik Al Quran, sebagian besar berisi sejarah atau
kisah-kisah (qashash al-qur‘an), selain risalah tauhid dan janji kehidupan masa
depan. Jalinan kisah di dalam Al Quran menghubungkan mata rantai risalah
ilahiah (tauhid) yang berkesinambungan dari satu nabi ke nabi berikutnya.
Pun kisah-kisah nabi selalu menggambarkan misi profetik
soerang rasul yang selalu berpaut dengan agenda perubahan sosial agar kehidupan
umatnya menjadi lebih wanusiawi dan beradab. Beragam kisah nabi dialamatkan Al
Quran sebagai pelajaran (hikmah) dan peringatan-ancaman (nadzir).
Kisah menjadi "strategi bahasa" kitab suci untuk
membungkus pesan-pesan yang disiratkan. Kisah diolah ke dalam struktur narasi
melalui sudut pandang tertentu yang meniscayakan pembaca menemukan suatu makna
dari jarak tertentu pula. Kisah-kisah di dalam kitab suci menggugah minat dan
gairah manusia karena disampaikan dengan gaya bahasa (stilistika) yang khas dan
mempertimbangkan kaidah keindahan (estetika). Kisah dibentukkan ke dalam
struktur bahasa guna "mengabadikan" pesan-makna universal yang mampu
melampaui berbagai kurun zaman.
Pandangan tentang peran kisah di dalam agama tersebut
mengabsahkan kita untuk membaca makna risalah Islam dari kisah Nabi Muhammad.
Kitab yang lazim dibaca dalam ritual muludan di Indonesia adalah Maulid
al-Barzanji, Maulid ad-Diba‘y, dan Qasidah Burdah.
Buku-buku tersebut tidak sekadar memanjangkan puji-pujian
yang mengagungkan nabi, tetapi juga memuat biografi kerasulan Muhammad.
Biografi kerasulan itu mencakup riwayat personal nabi, perjuangan menyiarkan
risalah tauhid serta pemulihan moralitas masyarakat di jazirah Arab, isra
mikraj, hijrah, dan sebagainya. Buku-buku tersebut menggabungkan natsar (prosa)
dengan sya‘ir (puisi) untuk mengemas kisah dan pujian.
Di tengah pesimisme masyarakat terhadap agama yang kerap
dipandang sebagai biang teror, permusuhan dan kekerasan, kesejatian makna agama
yang damai dan selamat bisa diusut dari narasi-narasi kehidupan nabi. Maulid
al-Barzanji karangan Syaikh Ja‘far al-Barzanji, misalnya, mengisahkan peristiwa
perselisihan di antara suku Quraisy tentang siapa yang berhak mengangkat hajar
aswad ketika merenovasi Ka‘bah.
Nabi Muhammad dengan arif meletakkan hajar aswad di selembar
kain, kemudian meminta semua kabilah mengangkat dan meletakkannya ke tempatnya.
Demikian lantas mencirikan karakteristik kepemimpinan Nabi yang mengedepankan
prinsip kesetaraan, keadilan dan kedamaian dalam memecahkan perkara sosial.
Agama Sebagai Laku
Pesan moral maulid nabi patut dilirik dan dipetik. Qasidah
Burdah karya Imam al-Bushiry, memodelkan karakter nabi sebagai manusia ideal
yang mengutamakan kebijaksanaan akal-budi. Sebab itulah sanjungan begitu kuyup
mengguyur Nabi, sebagaimana dilukiskan dalam salah satu bait Qasidah Burdah:
"Maka sepanjang harapan para penyanjung Nabi SAW semata tertuju kepada apa
yang ada pada dirinya dari akhlak dan tabiatnya". Sementara kini kehidupan
dibayangi pelbagai anomali dan anomie. Kondisi ini mendesak umat untuk
menemukan satu panduan sikap-laku guna mewujudkan masyarakat beradab (civilized
society).
Gurita masalah yang seolah tidak lepas dari perkelindanan
kebangsaan dewasa ini merupakan efek kemerosotan moralitas atau sikap-sikap
keutamaan manusia. Banyak perilaku buruk menjelma "hantu cantik nan
sexy", karena selain menakutkan tetapi juga menggiurkan, sebagaimana
ditampilkan film-film Indonesia mutakhir.
Tamsil bagi "hantu cantik nan sexy" yang paling
gamblang dan merisaukan hari ini adalah perilaku korupsi yang dibenci tetapi
sekaligus diminati. Anomali sedemikian mengisyaratkan surutnya nilai-nilai
kebajikan suatu masyarakat, sekaligus menunjukkan longsornya kebermaknaan
manusia itu sendiri.
Ragam retorika moral yang berulang kali beredar belum mampu
menggugah keinsafan kolektif. Kisah Nabi yang setiap bulan Maulud didaras umat
Muslim sedianya bisa dipetik suatu pelajaran moral yang berharga. Pembacaan
kisah Nabi adalah sekaligus ikhtiar mencari landasan etika praktis, bukan
sekadar kerangka konsepsional yang mengawang-awang di kepala bahkan mengangkasa
di langit.
Sebagaimana sunnah yang hingga hari ini absah dirujuk
sebagai referensi biografi Nabi Muhammad, yang terkategorikan atas hadits qauly
(perkataan), fi‘ly (perbuatan) dan taqriry (ketetapan) membuktikan
kemanunggalan akal-pikir (pengetahuan) dan laku Nabi. Maulid Nabi yang
melimpahi kita kisah-kisah Muhammad sejatinya memesankan satu makna
fundamental: kebermaknaan agama terletak pada tindakan dan laku.
Sumber: Jurnal
Nasional | Rabu, 23 Jan 2013, Hal. 6
Penulis: Musyafak - Staf
di Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, Semarang