Sintren merupakan bentuk seni tradisi yang tak
hanya dikenal di Kabupaten Brebes. Wilayah seperti Batang, Pekalongan,
Pemalang, Tegal, Cirebon dan Indramayu juga mengenalnya. Di Pemalang dan
Pekalongan kesenian ini disebut lais. Sampai saat ini tak ada catatan dan bukti
yang menguatkan mulai kapan sintren dikenal di masyarakat Brebes.
Namun RS Pardiyo dalam Sintren Brebes (1983)
menuliskan bahwa sejak 1800-an kesenian ini mengalami pertumbuhan luar biasa
berikut pasang surutnya. Kegairahan sintren muncul kembali pada 1920-an dan
1930-an, hingga kembali menyurut pada masa pendudukan Jepang sampai sekarang
ini.
Kemenyurutan seni tradisi sintren di Brebes
kini semakin terasa sekali. Padahal kelompok sintren di Kabupaten Brebes
tersebar di Losari, Ketanggungan, Larangan hingga ke Kecamatan Brebes. Secara
etimologi bahasa, sintren berasal dari kata si dan putren, bila digabung
menjadi si putren (sang putri).
Sebutan sang putri ini merujuk pada putri
jelmaan, yaitu perempuan yang dimasuki roh bidadari sehingga perempuan itu
menjadi jelmaan bidadari. Bentuk istilah
ini diamini Pardiyo (1983) dan Sugianto sebagaimna dikutip dalam buku Deskripsi
Kesenian Daerah (2005).
Berbeda dari Pardiyo dalam membangun
argumennya, Sugianto menyebut bahwa asal istilah sintren berasal dari kata si
dan tren. Si, menunjuk pada kata sandang atau sebutan yang artinya ia atau dia.
Sedangakan tren, diuraikan dari suku kata tri yang mendapat akhiran an. Makna
suku kata tri merujuk pada kata putri sehingga kata sintren berasal dari kata
si putrian yang menunjuk pada pelaku putri.
Pada prinsipnya, bentuk kesenian sintren
adalah pertunjukan yang memperlihatkan unsur magis dari penari perempuan yang
dimasuki roh halus atas panggilan pawang (di Brebes disebut kemladang) hingga
mengalami trance. Sintren Brebes hanya digelar saat musim kemarau untuk meminta
hujan. Karakteristik itu juga bisa dilihat dari iringan musik bumbung/ lodong
(bambu) dan alunan musik buyung (tempayan wadah air).
Ngamen
Seni
Menurut Sugito Hadisastro, opini yang
berkembang di masyarakat terhadap kesenian sintren pun bisa dikategorikan dalam
tiga kelompok. Pertama; ada kelompok yang secara tegas (tanpa kompromi) menolak
eksistensi kesenian sintren, karena berasumsi bahwa kesenian itu tidak sejalan
dengan nalar keagamaan (penuh nuansa mistis). Kedua; kelompok yang mengakui
eksistensi kesenian sintren dan berusaha melestarikan. Ketiga; kelompok yang
masa bodoh dan tidak mau ambil pusing tentang sintren dan bagaimana masa
depannya.
Tak bisa dimungkiri, masyarakat sekarang lebih
tertarik pada kesenian modern yang terbilang instan. Guna mengimbangi derasnya
musik modern, pelaku sintren harus mampu mengadaptasi apa yang menjadi tren dan
konsumsi masyarakat dewasa ini. Karena itu, sah-sah saja bila beberapa kelompok
sintren pun kita mengadopsi sentuhan alat musik modern seperti gitar akustik
atau organ.
Tak jarang pula juru kawi (baca” sinden) kini
berubah menjadi penyanyi layaknya pergelaran musik dangdut atau tarling. Begitu
halnya sintren di Jawa Barat yang kini telah banyak berkolaborasi dengan
jaipongan. Catatan penting yang harus dibenahi adalah masih minim dan kurang
berfungsinya sanggar sebagai tempat bertemu sesama anggota dan para pemerhati
seni tradisional.
Kemelemahan manajemen ditengarai juga ikut
memengaruhi citra kesenian sintren. Kesenian itu hanya dikelola secara musiman
dan baru bergerak jika ada undangan pentas ataupun festival. Upaya lain yang
dapat dilakukan adalah dengan ”ngamen seni”, yakni dengan mengadakan
pertunjukan sintren di sekolah. (10)
— Oleh : Imam
Chumedi SSos, Komite Sastra Dewan Kesenian Kabupaten Brebes
Sumber: Klik teng riki jeh...