DISKRIPSI
Memotret Cirebon dalam bingkai kaku, akan
membuat siapapun terjebak pada penyederhanaan. Tak akan pernah mudah
menggambarkan keaslian Cirebon baik dari segi bahasa, kesenian maupun kehidupan
sosial budaya masyarakatnya; paling tidak
di era modern saat ini.
Baik sosial budaya mau pun geografis, Cirebon
memang berada pada posisi persinggungan dua arus besar
kekhasan Sunda dan Jawa. Dengan posisinya sebagai jalur utama, arus lalu
lintas masyarakat, varian-varian budaya
Cirebon makin terasa. Interaksi kultural, yang penuh warna warni itu, sulit
dihindari untuk memberikan sentuhan-sentuhan yang mempengaruhi atau bisa jadi
memperkaya dan membuat Cirebon benar-benar khas, unik, dan sangat mungkin
dinamis dari perspektif kultural.
Membandingkan Cirebon dalam kurun waktu
sepuluh tahun saja dengan Cirebon kontemporer, sudah terasa perubahannya.
Perkembangan industri, padatnya arus lalu lintas, ditambah perkembangan
inforkom yang menabjubkan, makin menggoda budaya Cirebon, semakin bersolek.
Tarling misalnya, sudah mengalami persentuhan luar biasa, baik dari aransemen
musik mau pun lirik-liriknya. Barangkali, kosa kata Cirebonlah, yang membuat
Tarling, masih dianggap sebagai produk budaya Cirebon. Pengaruh campur sari,
dangdut, serta menyelip pula aroma musik India dan Arab; musik Cirebon itu
sejatinya saat ini, memang mengalami metamorfase. Mungkin, bukan sebuah
penghianatan budaya, tetapi lebih pada sebuah pergeseran warna. Seperti budaya,
yang tak akan pernah ada yang mampu merobahnya, tak ada kekuatan pula yang
dapat membentengi budaya dari sentuhan-sentuhan godaan perubahan.
Ada
memang khasanah lama Cirebon, yang menjadi ciri Cirebon yang tetap
hidup. Namun, tak pelak, serbuan arus budaya metropolit membuat berbagai
kekhasan Cirebon seperti hidup bagai kerakap di atas batu. Kesenian sejenis
tari topeng, tidak lagi hidup sebagai bagian dari dinamika kehidupan masyarakat
tetapi lebih sekedar sebuah upaya berdiri membentuk monumen yang sepi dan bisu.
Kekhasan Cirebon, memang pelan terasa menguap, dengan sedikit jejak-jejak yang
mulai kabur. Suram.
Penulis
: Dadang Kusnandar
Cetakan
: September 2012
Tebal
: 142 hlm
Ukuran
: 14 x 21 cm
Penerbit
: Gapura
Dicetak secara POD, lama proses cetak 7-14
hari
Buku bisa dipesan klik teng riki jeh...
Comments
di buku ini ada pembahasan tentang gamelan cirebon gk.?
kalau mau pesen bagaimana caranya ya ? harganya ?