In Memoriam
Oleh Ahmad Syubbanuddin Alwy
SETIAP kali ada seseorang yang hingga akhir
hayatnya tetap kukuh memilih dunianya menjadi bagian dari "ritus
kehidupan", setiap kali ada seseorang yang selama hayatnya meletakkan
hampir seluruh kreativitasnya menjadi representasi dari segenap "totalitas
kehidupan", setiap kali pula seseorang itu, tanpa pamrih, dengan tulus
mengajarkan serta merelakan dirinya hanya untuk kesenian dan berdiri sebagai
seniman yang dengan karya-karyanya sebuah bangsa, di antara sekian karya yang
lain, ditahbiskan berbudaya dan memiliki spirit peradaban. Adakah kita bisa
meletakkan kembali penghormatan dengan secercah ketulusan yang sama?
Saya kira, kita --siapa pun kita pada konteks
maknanya yang diperluas dalam posisi sebagai pejabat negara, politisi,
pengusaha atau apa pun-- kesulitan untuk menjawab esensi pertanyaan tadi dengan
baik. Bahkan ada berbagai pertanyaan serupa yang sama sekali kita tidak bisa
memberi jawaban tepat. Seperti halnya pertanyaan berikut, apakah peran seniman
memang senantiasa berada di luar hiruk-pikuk kebijakan negara? Apakah
karya-karya seni tidak menjadi bagian signifikan dalam subsistem wacana
kebudayaan suatu pemerintahan?
Seniman, terlebih pada mereka yang memilih
genre seni tradisi lengkap dengan membawa khazanah lokal yang menjadi bagian
substantif di dalamnya, tampak mengalami dilema di sana-sini dalam menghadapi
perubahan zaman. Sejumlah seni tradisi yang merupakan "ikon" dan
"akar" dalam konstruk budaya tradisional masyarakat, kita tahu,
berada pada posisi marginal dan feriferal. Dan, ironisnya, justru seni-seni
tradisi yang semula menjadi simbol dalam penyeimbang (equilibrium) seni-seni
yang dinilai sebagai sentral (adiluhung).
Kematian yang Sunyi
Sujana Arja, atau akrab dipanggil Mang Jana,
adalah maestro penari topeng yang Senin (10/4/2006) baru saja wafat dengan usia
di atas 70 tahun. Suatu kematian yang sunyi yang menyisakan jejak panjang
silsilah dari salah satu dinamika, stilistika, maupun estetika tari topeng
Cirebon: bagaimana tari topeng "gaya Slangit" membentuk dirinya dan
mempertahankan eksistensinya sekaligus. Bahkan dengan keteguhan seperti itu, ia
tidak peduli apakah negaranya memberi perhatian terhadap salah satu warisan
seni tradisi bangsanya atau tidak; apakah pemerintah daerahnya memahami atau
tidak, bagaimana seharusnya menyusun grand strategy apa yang diklaim para
birokrat sebagai "pelestarian" seni tradisi.
Sujana dengan kehidupan yang sangat sederhana
mampu bertahan untuk tidak bergeser sedikit pun dari pengabdian hampir seluruh
gerak dirinya pada khazanah seni tradisi tari topeng yang diwariskan keluarga
besar maestro penari topeng Arja. Sejak 1973, Sujana berlatih, mengajarkan lima
wanda tari topeng dan menempati sanggar tari Panji Asmara yang berada di
pengujung utara desa Slangit yang kiri-kanannya masih berupa semak perdu,
rumpun bambu, jalan setapak, dan hamparan sawah. Kecuali menari, ia tidak
pernah memilih profesi selainnya, apalagi sekadar untuk menyelesaikan yang
primer dan sekunder dalam kehidupannya selama ini.
Sujana telah melanjutkan proses regenerasi dan
genealogi dari cikal-bakal tari topeng Cirebon. Bersama dengan beberapa tokoh
tari topeng segenerasinya seperti, Sawitri (gaya Losari), Tarwi (Kreo), Sudji
dan Dasih (gaya Palimanan) mengukuhkan tari topeng Cirebon dengan gaya
masing-masing. Sehingga meninggalnya almarhum Sujana, menandai berakhirnya
generasi kedua tari topeng Cirebon yang kini, mau tidak mau, diteruskan
anak-cucu mereka. Tradisi tari topeng --seperti seni-seni tradisi lain, mungkin
agak mirip dengan perguruan shaolin yang memiliki keniscayaan untuk melahirkan
sejenis "pendekar" sebagai generasi penerus yang eksploratif, andal,
kukuh, teguh dalam menerima seluruh estafet dari dalam pepakem seni tradisi
tersebut.
Setidaknya, jika generasi tari topeng Slangit
pasca-Sujana tidak segera menata berbagai instrumen dalam perjalanannya ke
depan akan menghadapi tantangan budaya global yang mereduksi pandangan
publiknya sedemian rupa. Dikhawatirkan tari topeng Cirebon yang tumbuh dengan
latar serta beragam gaya yang bertolak dari eksplorasi maupun improvisasi
tokohnya akan kehilangan generasi (lost generation). Sehingga beberapa gaya
tari topeng Cirebon yang pernah tumbuh pada beberapa daerah dengan beragam
gaya, sebut saja Kalianyar, Gegesik, Palimanan, Babakan, Kreo, dan Gujeg,
tampak "ditinggalkan" generasi penerusnya.
Tari topeng "gaya Slangit" --diambil
dari muasal nama desa tempat proses kreatif keluarga besar maestro tari topeng
Arja (ayahanda dan pendahulu Sujana) sebagai Generasi Pertama-- menjadi tonggak
penting bagi sembilan anak-anaknya; Sutija, Suwarti, Suparta, Sujaya, Sujana,
Rohmani, Roisi, Durman, dan Keni, yang semuanya berhasil menjadi penari topeng.
Meski dari ke sembilan anaknya, Sujana yang kelak tampil dan dikenal publik
luas sebagai seorang maestro.
Sujana memulai proses kreatifnya untuk menjadi
maestro sejak berusia 10 tahun yang mengikuti bebarang (ngamen) bersama
ayahnya. Kemudian atas prakarsa Pangeran Patih Ardja dari Kesultanan Kanoman,
sekitar tahun 1940-an, keduanya tampil dalam berbagai perhelatan ritual tradisi
di lingkungan keraton. Pada usia 17, Sujana dilepaskan secara mandiri untuk
menerima tanggapan (order hajatan) dan melakukan bebarang hingga ke luar daerah
(Indramayu, Majalengka Sumedang, Bandung, Garut, Cianjur, Banten) sebagai
bagian dari proses manunggaling lelaku (menyatukan jiwa-raga dengan filosofi
tari topeng dalam konteks kehidupan) --yang tidak dapat ditempuh melalui
intellectual exercises dari wilayah dan norma-norma akademis.
Karena itu, kita yang pernah menyaksikan
pementasan Sujana, Sawitri, Sudji, Dasih atau Mimi Rasinah --maestro penari
topeng dari Pakandangan Indramayu-- akan tampak kekuatan tarian yang melampaui
fase-fase "batas nalar" dari kelincahan gerak penari yang memasuki
usia uzur. Energitas dan kreativitas menyatu dengan spiritualitas ruh penciptaan.
Begitu juga totalitas dan sinergitas menemukan ruang batin: di mana ekstase
menyusun maknanya yang transenden dan tidak lagi samar-samar tersembunyi.
Hampir para maestro yang membuka ruang
batinnya untuk selalu berada pada kosmos pergulatan kreatif akan memperlihatkan
puncak dimensi penciptaan ruhani yang dahsyat dan menakjubkan. Dan, Mang Jana
--dalam sebuah percakapan kecil dengan penulis, menolak persepsi yang semata
mengacu pada asumsi akademis yang menilai pencapaian transenden dapat dimanipulasi
melalui pemahaman sains, tanpa memasuki proses logosentrisme yang menjadikan
seniman berada dalam fase pemahaman empirik-kognitif (ngangsu kaweruh).
Dalam perspektif inilah, Sujana hendak
menegaskan bahwa proses kreatif yang hanya kukuh sebatas asumsi-asumsi
akademis, berakhir dalam pemahaman formalnya sendiri: tari topeng akan lebih
tampak sebagai pola-pola gerakan ritmis yang penuh citraan (images) gerak tubuh
dalam filosofi makna dan tata aturan bunyi gamelan. Namun kehilangan ruh
pencitraannya sendiri, yang menyebabkan gerakan-gerakan tarian tampak ringan
dan mekanik. Melalui proses panjang manunggaling lelaku dan ngangsu kaweruh,
seorang penari topeng akan menemukan titik pencitraan berbagai dimensi
penciptaan yang bersenyawa dengan totalitas jiwa-raga.
Pribadi yang Tulus
Dalam kurun waktu cukup panjang dan berliku,
Sujana Arja, empu tari topeng Slangit itu, telah menyiratkan dirinya menjadi
pribadi yang tulus. Ia bukan saja berdiri sebagai seorang maestro, melainkan
juga guru untuk banyak muridnya (dalam dan luar negeri) yang sungguh-sungguh
telah mengabdikan serta mengabadikan kehidupannya pada seni tradisi. Meski, ia
tahu, dengan sikap penuh-seluruh, terlebih lagi ia sadari tanpa jaminan hari
tua dari mana pun --termasuk pemerintah-- seorang seniman justru akan terus berada
dalam suasana "mencipta".
Saya masih teringat, ketika tahun 2000 Sujana
Arja terpilih sebagai seniman pertama yang menerima Anugerah Seni DKC-Award.
Terlihat sepasang matanya yang mulai tampak renta, berkaca-kaca. Dan yang
menakjubkan, seusai menerima trofi perunggu berwarna kuning keemasan berlogo
kepala paksinagaliman, tiba-tiba sang maestro menari topeng rumyang secara
trance dengan tangan kirinya memegang trofi perunggu seberat 2,5 kg,
berputar-putar seolah hendak menyatakan dirinya ke arah kerumunan penonton.
Malam itu, kami seperti menyaksikan sebuah
momen pertunjukkan dengan kecanggihan gerakan tubuh memainkan kilasan
improvisasi yang menghadirkan perpaduan dua sisi ekspresi yang menghantarkan
unsur-unsur modernitas dalam teater dan seni tradisi yang patuh pada pepakem.
Sebagaimana tarian rumyang yang melambangkan filosofi kehidupan manusia dengan
paradoks dua karakter yang berseberangan: antara ganjen dan gagah, antara samba
dan tumenggung yang dimainkan secara sempurna.
Setelah pertunjukan tari topeng usai, Sujana,
dengan sikap seorang maestro, berjalan terbungkuk-bungkuk penuh kesantunan
melewati kerumunan penonton yang masih menyisakan riuh kekaguman. Gerak
tubuhnya yang gagah di panggung, seketika berubah menjadi sangat perlahan. Ia
tetap seorang kakek yang rendah-hati. Dari raut wajahnya yang tulus itulah,
kami belajar memahami keteladanan sikap seorang maestro yang teguh dan kukuh
hingga akhir hayatnya.
Beberapa hari kemudian, kami bersilaturahim ke
rumahnya --mungkin lebih tepat ke sanggarnya: Sanggar Panji Asmara di desa
Slangit-- Sujana sedang duduk termenung di kursi kayu dengan latar belakang
gamelan yang mulai kusam, berbagai piagam penghargaan tanpa figura yang sengaja
ditempel begitu saja di dinding, di antara bangunan sanggar yang masih belum
sepenuhnya selesai tertata.
Dari situlah, kami tahu, Sujana terus gelisah
dengan masa depan tari topeng Cirebon, juga seni tradisi lain, kini memasuki
lorong panjang seni-budaya global yang bergemuruh dan mencengangkan. Maestro
itu, dengan suara lirih bergumam, "Kulae nggereges ningali keadaan seniki.
Pripun mengkine nasib seni tradisi kados tari topeng Slangit kuh?" (Saya
sangat sedih melihat kondisi sekarang. Bagaimana nanti nasib seni tradisi
seperti tari topeng itu?).
Selamat jalan Mang Jana, selamat jalan
maestro. Percayalah, salah seorang anakmu yang juga murid setiamu, Inu
Kertapati --bagaimanapun merupakan salah seorang penari topeng muda Cirebon
yang sangat diperhitungkan-- ia, seperti juga ayahnya, akan kukuh meneruskan
silsilah keluarga besarmu sebagai penari topeng dan meneguhkan dirinya menjadi
Generasi Ketiga keluarga maestro Arja.***
Penulis, penyair, "murid spiritual"
maestro Sujana Arja.
Sumber: Klik teng riki jeh....