Maestro Tari Topeng Mimi Tursini Kini Tiada:
Kisah Kelam dan “Babak Belur” Seniman Cirebon
Oleh Sumbadi Sastra Alam*
Terasa duka panjang dalam benakku. Padahal
belum genap satu tahun , aku masih menyaksikan kepiawaian Mimi Tursini menari
di atas panggung papan di tengah gang sempit . Mimi Tursini - Nenek berusia 75
tahun saat itu - begitu kokoh menancapkan kuda-kuda kakinya di atas panggung
papan di depan rumahnya. Meski digerogoti usia yang renta, tubuh Mimi Tursini-
penerus sekaligus pewaris maestro tari topeng Palimanan Mimi Sudji (almarhumah)
tak bergeming. Tubuhnya nampak tangguh menari tarian topeng Panji khas
Palimanan Cirebon. Sesekali dengan penuh kehati-hatian ia gerakkan tangan dan
kepalanya sambil ditimpali hiruk pikuk tetabuhan gamelan.
Memang kala itu aku masih bisa menatap
wajahnya Mimi Tursini yang pucat dan kerut keriput nya begitu kentara. Namun
sekejap berubah rona raut mukanya saat Mimi Tursini mengenakan kedok topeng
Panji. Wajah topeng yang dipulas cat putih itu menyatu dengan gerak tubuhnya
yang bersahaja. Mimi Tursini piawai menyuguhkan tari topeng Panji seperti sosok
manusia yang penuh bijak.Kepiawaian Mimi Tursini menarikan topeng Panji sehebat
ibunya maestro penari topeng Palimanan almarhumah Mimi Sudji.
Kini Mimi Tursini telah tiada. Kasi Kesenian
Disporabudpar Kabupaten Cirebon Uuk Sukarna yang datang melayad sebelum jenasah
dikubur – mengaku memendam rasa duka yang mendalam. Ia merasa kehilangan sosok
maestro tari topeng Palimanan yang handal. “ Nopember tahun 2012 lalu, saya
mengajak mimi Tursini tampil di taman Budaya Bandung dan tengah menggarap dokumentasi
topeng Palimanan, naumn belum tuntas,” papar Uuk Sukarna.
Yang menyayat hatiku, sejak sosok almarhumah
Mimi Tursini masih malang melintang di dunia tari topeng Palimananan, tak
pernah tersentuh perhatian pihak berwenang. Sebagai pewaris sah topeng
Palimanan dari keturunan asli almarhumah Ibu Sudji , tak pernah mendapat
bantuan apapun dari pemerintah daerah setempat. Padahal semasa hidupnya,
almarhumah Mimi Tursini tak diragukan lagi perjuangannya mempertahankan
keberadaan topeng Palimanan hingga kini tetap ada. Almarhumah Mimi Tursini
melangkah melalui perjalanan yang panjang dan tak pernah terhenti hingga tutup
usianya. Kusaksikan dengan mata kepadaku sendiri, saat masih ada, Mimi Tursini
begitu setia secara nyata, mengasuh dan mendidik sekitar 20 anak yang masih
sekolah di sekolah dasar di sanggarnya.
Sejak usia 12 tahun, Mimi Tursini mahir
menari. Bahkan sekitar tahun 1950 an, diajak ibunda Sudji keliling bebarang
atau mengamen dari kampung ke kampung hingga menyeberang kabupaten lain menjadi
penari topeng Palimanan. Sebagai penari kecil saat itu bebarang bukan semata
untuk mengais uang, tapi lebih penting menggodok diri hingga matang kepiawaian
saya dalam menari di depan penonton. Itulah perjalanan hidup topeng palimanan
yang disebut “babakdeng”. “ Waktu itu mengamen menari topeng satu babak dibayar
satu gedeng padi. ” tutur Mimi Tursini suatu ketika ditemui penulis di sanggar
tari Sudji Mekar Harum yang sekaligus di rumah kediamannya di sebuah gang
sempit di kampung gempol Palimanan Kabupaten Cirebon.
Belum jelas, nanti siapa yang bakal
melanjutkan keberlangsungan sanggar tari almarhum Mimi Tursini. Meski memang
sanggar tarinya sebenarnya bukan tempat yang layak. Aku masih sempat mendengar
cerita langsung radi almarhumah ketrika masih sehat, bahwa dirinya mengaku tak
pernah lelah mepertahankan keberadaan Tari Topeng Palimanan, tanpa bantuan atau
perhatian pemerintah daerah. Bahkan untuk tetap pertahan hidup dan menjaga agar
topeng Palimanan tidak punah tertelan jaman, Mimi Tursini harus rela menanggung
ekonomi keluarga yang babak belur. Himpitan ekonomi yang kian rapuh terus
mencekik kebutuhan hidup keluarganya.
Sungguh, walau ekonomi keluarganya babak
belur, saat itu mimi Tursini tak pernah mau beranjak meninggalkan profesinya
sebagai pelatih tari topeng Palimanan, baik melatih disanggarnya maupun ke
tempat-tempat lain walau tak mendapat imbalan yang layak. Kini tinggal tersisa
harapan murid-murid almarhumah mimi Tursini yang begitu besar berharap mendapat
sedikit perhatian pemerintah terhadap sanggar tari yang didirikan gurunya
almarhum Mimi Tursini, semata demi kelestarian seni tari topeng palimanan yang
nyaris punah.
Boleh jadi, masa depan seni tari topeng
Cirebon mencemaskan. Nasib seniman dan kesenian topeng Cirebon saat ini
bergeming. Dari jaman ke jaman, kehidupan ekonomi keluarga para pelaku kesenian
topeng tak pernah berubah membaik alias makin babak belur atau nyungseb. Kini
Cirebon kehilangan satu lagi aset pewaris budaya lokal. Mimi Tursini wafat
sakit tanpa ada uluran tangan pihak berwenang membantunya. Ia dan keluarga
berjuang sendirian. Padahal sesungguhnya seni Tari topeng Cirebon dengan
seabreg gaya, telah menjadi asset budaya Jawa Barat. Topeng Cirebon selayaknya
bisa menjadi sumber kehidupan bagi senimannya, Karena topeng Cirebon adalah
salah satu jenis karya seni budaya yang dapat dijadikan sebagai sebuah industri
kreatif. Tapi sampai saat ini tak ada yang mau peduli terhadap nasib mereka.
Pemerintah Kabupaten Cirebon hanya bisa mengakui keberadaannya, namun tak mau
menghidupi mereka.
Ya, topeng Cirebon dibiarkan hidup segan mati
tak mau. Akankah terkuburnya mimi Tursini menghadap ke haribaan Allah Swt,
dapat membangkitkan babak baru nasib penari dan kesenian topeng atau tetap
babak belur ?. Pejuang tari topeng Palimanan Cirebon yang tangguh tak bisa kita
saksikan kepiawaiannya lagi. Selamat Jalan Mimi Tursini. Semoga ada generasi
masa depan yang tetap kokoh menancapkan kaki di bumi Cirebon untuk setia
mendekap warisan budaya yang luhur.
Pengurus Lembaga Basa Lan Sastra Cirebon (LBSC) & Aktivis Seni Budaya Cirebon
Tulisan ini dimuat di Kabar Cirebon edisi 23 Februari 2013