Carini alias Menor
salah seorang dalang topeng asal Subang
tengah menarikan topeng Pamindo bagian
baksarai di tetaer terbuka Taman Budaya Jawa Barat 9 April 2011
|
Topeng Menor, bukanlah sebutan bagi suatu
jenis kesenian. Sebutan itu sebenarnya hanya untuk menunjukkan seseorang
sebagai penari topeng. Menor adalah nama lain bagi seorang yang bernama Carini.
Ia adalah buah perkawinan dari Sutawijaya (ayah) dan Sani (ibu). Sutawijaya
adalah dalang wayang kulit dan Sani dalang topeng.
Menor adalah julukan bagi Carini, seorang
dalang topeng berdarah Cirebon yang tinggal di Dusun Babakan Bandung, Desa
Jati, Kecamatan Cipunagara, Kabupaten Subang. Sebutan Menor diberikan karena ia
adalah satu-satunya anak perempuan dari empat bersaudara keturunan Sutawijaya.
Menor adalah nama kesayangan, karena semasa remajanya Carni itu memang menor,
alias cantik atau genit. Ia adalah anak tertua dari empat bersaudara (Sunaryo,
Supendi, dan Komar).
Sani ibunya, berasal dari daerah Kalisapu,
Kanoman, Cirebon, sementara ayahnya Suta berasal dari daerah Pamayahan,
Kabupaten Indramayu. Sutawijaya masih mempuyai pertalian saudara dengan
Rasinah, seorang dalang topeng terkenal dari daerah Pekandangan Indramayu. Ia
juga masih punya pertalian saudara dengan dalang-dalang wayang terkenal seperti
Rusdi dan Tomo, dari daerah Celeng, Indramayu.
Topeng Cirebon yang berada di Cipunagara pada
mulanya berasal dari dua daerah pusat persebaran topeng, yaitu Cirebon dan
Indramayu. Menurut penuturan Carini (Menor), sekitar tahun 30-an Aki Resa
diminta nopeng oleh Ama Patih dan Juragan Demang di Cimerta. Ia diberi imbalan
rumah tempat tinggal di daerah Pagaden Subang. Pada waktu itu, Pangga (salah
seorang anak Resa), yang juga dalang topeng, ikut pula. Sebagai pimpinan
rombongan topeng, ia pun seringkali dipanggil untuk nopeng oleh Juragan Demang
dengan mendapatkan imbalan rumah dan tanah di daerah Sindang Kasih. Kemudian
mereka menetap di daerah tersebut.
Pangga mewariskan seni topeng kepada
keturunannya: Winda, Talim, Aminah, Sutawijaya, dan Rudiah. Sekitar tahun
40-an, Pangga dan keluarga pindah ke Desa Jati karena jembatan Cigadung yang
dekat dengan rumahnya akan dihancurkan oleh Belanda. Rumah dan tanah di Babakan
Bandung, Desa Jati, yang kini ditempati itu, pada awalnya adalah pemberian Lebe
Pahing-Desa Jati.
Lahir tahun 1955. Ia sekolah hanya sampai
kelas 4 SD. Ketidaktamatan sekolahnya bukan karena tidak pandai. Ia memang
sering tidak masuk sekolah, penyebabnya tak lain adalah karena terlalu sering
manggung. Kalau tidak nopeng, ia menjadi pesinden dalam pertunjukan wayang
kulit atau wayang golek.
Pertama kali belajar menari topeng kepada Ibu
Dari dari Bogis-Indramayu saat masih berumur sekitar 10 tahun dengan bayaran
setengah kuintal padi. Ia belajar menari topeng bersama-sama dengan Arni,
putrinya Ibu Dari. Tarian yang pertama kali dipelajarinya adalah topeng
Pamindo. Setelah tarian tersebut dikuasai, ia kemudian diajak bebarang (ngamen)
oleh ibunya, keliling daerah Subang, seperti ke daerah Sirap, Tanjungsiang,
Jalan Cagak, bahkan sampai ke daerah Bandung, (Cidamar) Cimindi. Bebarang
dilakukannya sekitar tahun 1962. Selanjutnya, ia mulai mendapat panggungan saat
masih berumur belasan tahun. Ia manggung di daerah Kihiang, Citra, Tumaritis,
Sakurip, Cipicung, dan sebagainya.
Pada sekitar tahun tujuh puluh, saat sedang
tenar-tenarnya menjadi dalang topeng, ia dilamar oleh seseorang. Oleh orang
tuanya ia diperbolehkan menikah dengan syarat, bahwa laki-laki yang meminangnya
harus sanggup menyediakan speaker sebagai mas kawinnya. Lelaki yang melamar itu
berasal dari Salahaur, Kartomo namanya, kemudian ia menyanggupi permintaan
calon mertuanya. Menor pun menikah.
Pernikahan itu tak langgeng. Mereka kemudian
bercerai pada tahun 1973. Namun, membran bermerek Toa itu masih ada sampai
sekarang. Tahun 1974 Menor menikah lagi dengan seorang lelaki dari Desa Jati,
Enen namanya. Akan tetapi pernikahan itu juga tidak berlangsung lama. Mereka
bercerai pada tahun 1977. Pada tahun 1977 akhir, menikah lagi dengan seorang
Wakil Kepala Desa Kawung Anten, Kana, dan bercerai lagi tahun 1992. Pada tahun
1994, Menor menikah lagi dengan Waspan, Wakil Dusun Sindang. Waspan suaminya,
kini menjadi staf desa di bagian LPMD
(Lembaga Pembangunan Masyarakat Desa); Ketua Kelompok Tani; Juru Tulis bagian
PBB; dan Bendahara Desa. Dari semua perkawinannya, Menor belum dikaruniai satu
pun keturunan.
Menor, termasuk seniman serba bisa. Ia selain
menjadi dalang topeng, juga menjadi pesinden wayang kulit dan juga wayang
golek. Pernah belajar berbagai tarian Keurseus saat ia dibawa uanya Aminah ke
daerah Tanjung Priok Jakarta. Aminah pada saat itu bersuamikan seorang polisi
yang di asramanya ada kegiatan tari-menari. Karena itulah Menor pun bisa menari
Keurseus, seperti tari Lenyepan, dan tari Gawil. Ia juga belajar Pencak Silat
kepada Eyang Kuwu Cibogo.
Masa-masa bebarang dan panggungan adalah
masa-masa belajar yang menghasilkan berbagai pengalaman menarik. Salah satu
yang masih diingatnya ialah, saat orang tuanya tidak memberikan kesempatan
untuk melaksanakan hajat buang air kecil. Menurut ayahnya, Sutawijaya, kepalang
jika tarian dihentikan karena tengah ditonton orang banyak. Tentu saja Menor
tak kuat menahan desakan untuk buang air kecil, sampai akhirnya ia ngompol
(kencing tanpa membuka celana dalam) di tengah kalangan. Melihat keadaan itu,
para penonton geger garena penarinya kencing di kalangan. Pada saat itulah ia
mendapat julukan Dalang Ngompol dari masyarakat.
Saat ia belajar menari ia ditempa ayahnya
dengan berbagai perlakuan yang
kadang-kadang terasa sangat menyusahkan bahkan menakutkan. Misalnya, ia sempat
diikat di sebuah pohon buah sambil diasapi oleh pembakaran tikar. Puasa wedal,
senin-kamis, niis, mutih, dan laku asketik lainnya ia lakukan dengan penuh
kesabaran. Tujuannya tak lain hanya untuk supaya ia mempunyai kepercayaan diri
sebagai seniman. Laku seperti tersebut memang adalah kebisaan yang umum di
kalangan seniman, khususnya seniman topeng dan wayang kulit di Cirebon.
Penulis: Toto Amsar Suanda
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa
Barat. “Ensiklopedi Seni Budaya Jawa Barat.” Bandung 2012.
Sumber: Klik teng riki jeh...