Author name: admin

SENI BUDAYA, TRADISI

Pelestarian Seni Budaya oleh Mahasiswa

TRIBUNJABAR.ID, CIREBON – Seni budaya dan sejarah Cirebon sudah banyak dilestarikan oleh sejumlah mahasiswa Cirebon. Semisal di Sanggar Seni Kencana Ungu, Desa Mertasinga, Kecamatan Gunungjati, Kabupaten Cirebon, Minggu (18/3/2018), sejumlah mahasiswa tampak serius menyimak penjelasan mengenai seni tari khas Cirebon. Selain mempelajari seni dan budaya untuk penelitian skripi, juga ada yang serius mempelajari tarian tradisionalnya. “Tentu kebudayaan dan sejarah Cirebon itu sangat beragam sekali. Selain meneliti untuk skripsi, saya juga sangat kagum akan seni tarinya. Di luar, orang hanya tahu seni tari topeng saja, padahal sebenarnya masih banyak,” ujar Sekar (21), mahasiswi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) saat ditemui Minggu (18/3/2018). Menurut pemilik Sanggar Seni Kencana Ungu, Elang Panji Jaya, tidak hanya meneliti, para mahasiswa banyak yang sudah mengembangkan dan melestarikan kebudayaan Cirebon. Beberapa penari sanggar juga terlihat sedang mengajarkan setiap gerakan tarian kepada para mahasiswa. Dari mulai pemanasan hingga menari diikuti iringan lagu, suasana sanggar tampak begitu hangat. “Ini bagian dari kegiatan bersama teman-teman, kami juga sangat senang akhirnya dapat lebih mengetahui jenis tarian khas Cirebon,” ujar Farida (23), mahasiswi Unswagati Cirebon. (*) Bersambung disini

SENI BUDAYA, TRADISI

Cokek Losari, akulturasi Musik Tionghoa dan Gamelan Cirebon

Para pemain Cokek Losari Cirebon dalam rangkaian perayaan Imlek di Vihara Welas Asih Cirebon. Foto (Liputan6.com / Panji Prayitno) Liputan6.com, Cirebon – Cirebon merupakan salah satu daerah di Jawa Barat yang memiliki sejarah panjang di Indonesia. Beragam warisan sejarah, budaya, dan seni sebagian besar masih dilestarikan, meski tak mendapat perhatian sepenuhnya dari pemerintah setempat. Salah satunya adalah warisan kesenian musik Cokek yang berasal Desa Dukuh Widara, Kecamatan Pabedilan, Kabupaten Cirebon. Cokek Losari Cirebon ini tidak seperti kesenian yang ada di Betawi. “Ini sudah lama turun-temurun, sekitar 200 tahunan, saya lupa tidak pernah tanya sejarahnya ke keluarga,” kata Pimpinan Sanggar Cokek Losari Cirebon, Surip, Kamis, 15 Maret 2018. Surip menjelaskan, Cokek Losari merupakan seni musik daerah yang berasal dari Tiongkok. Cokek Losari selalu hadir setiap ritual masyarakat Tionghoa Cirebon. Seperti upacara sembahyang, rangkaian acara Imlek, bahkan upacara kematian warga Tionghoa Cirebon. Surip mengatakan Cokek Losari ada sejak Cirebon berdiri. “Saya sendiri tidak tahu sudah berapa generasi karena saya lahir ya sudah ada peralatan musik Cokek ini,” ujar Surip. Dalam perkembangannya, kata Surip, dahulu di Kabupaten Losari terdapat empat sanggar seni musik Cokek. Namun, dari keempat sanggar tersebut, hanya sanggar Cokek Losari pimpinan Surip yang masih bertahan. Pengamen Keliling Dia menuturkan, Cokek Losari yang dipimpinnya saat ini memiliki perjalanan sejarah yang cukup panjang. Terutama saat sanggar tersebut di bawah kepemimpinan Bapak Wastar. “Dulu Pak Wastar termasuk pendiri dan yang totalitas mengenalkan Cokek ke masyarakat khususnya Tionghoa di Cirebon. Dengan cara ngamen ke sana ke mari,” ujar dia. Seiring berjalannya waktu, Cokek Losari mulai dikenal oleh masyarakat Tionghoa Cirebon. Bahkan, hingga saat ini, Cokek Losari selalu hadir dalam setiap rangkaian perayaan Imlek di Vihara Welas Asih Cirebon. Dia mengatakan, seiring berjalannya waktu, salah seorang pendiri Cokek Losari bertemu dengan pengelola Kelenteng Welas Asih. Bapak Wastar, kata Surip, langsung mengajak sanggarnya tampil di vihara tersebut. “Pemain Cokek juga turun-temurun dan sudah keluarga semua,” ucap dia. Namun demikian, para pemain Cokek Losari Cirebon tidak murni memainkan lagu-lagu Mandarin saja. Musik yang dimainkan pada Cokek Losari pun mengikuti kultur dan tradisi di Cirebon. Dalam setiap memainkan musik, para pemain Cokek Losari selalu berkolaborasi dengan unsur gamelan yang menjadi ciri khas Cirebon. Dia menyebutkan, pada Cokek Losari terdapat gamelan, kening, sompret, seruling, rebab, teh yan, kendang kecil, dan kencer. Surip menjelaskan, kolaborasi musik Tiongkok dengan Gamelan Cirebon sudah diwariskan secara turun-temurun. Bahkan, Surip mengaku mendapat pesan dari pendahulunya agar melestarikan Cokek Losari dengan paduan musik kolaborasi. “Lagu-lagunya tetap Mandarin, tapi dikolaborasikan dengan Gamelan Cirebon dari orang tua dulu juga sudah begitu dibuat versi gamelan agar menyatu dengan masyarakat Cirebon,” ujar dia. Hingga saat ini, kata dia, Cokek Losari merupakan satu-satunya peninggalan kesenian Cirebon. Di tengah gempuran teknologi musik, Cokek Losari tetap konsisten dengan alirannya dan alat yang diwariskan secara turun-temurun. sumbernya disini

SEJARAH, SENI BUDAYA, SITUS CIREBON, TRADISI

Sejarah Asal-usul Tionghoa Cirebon

    CIREBON-Akulturasi budaya di Cirebon sudah begitu melekat dengan masyarakat Tionghoa. Semua itu tentu tidak lepas dari sejarah panjang Cirebon. Wajar saja, ketika puluhan tokoh Tionghoa melakukan Grebeg Ngunjung ke Makam Putri Ong Tien dan Sunan Gunung Jati di Kecamatan Gunung Jati. Bersama keluarga dan kerabat keraton, mereka menggelar doa bersama di depan pintu makam Sunan Gunung Jati dan istrinya Putri Ong Tien,  Sabtu (3/3).  Para tokoh Tionghoa pun melakukan tabur bunga di pintu masuk kedua makam Putri Ong Tien dan Sunan Gunung Jati. Namun, saat memasuki lokasi kedua dua makam tersebut, seluruh pengunjung dilarang mengabadikan dengan foto. Pantauan Radar Cirebon, makam Putri Ong Tien tampak sederhana. Hanya tumpukan batu bata dan maesan (batu nisan). Kehadiran Putri Ong Tien di Cirebon mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan Cirebon. Sebab, perkembangan Cirebon kala itu cukup pesat, terutama pada pengaruh dan akulturasi budaya. Filolog Cirebon R Ahmad Rafan Safari Hasyim MHum menuturkan, Grebeg Ngunjung ini merupakan perdana yang digelar keturunan etnis Tionghoa di Cirebon. Tujuannya ingin membuka sejarah dulu yang sempat terlipat. Bagaimana pun juga sejarah perlu dipelajari kembali. “Awal mula keinginan etnis Tionghoa membuka sejarah masa lalu itu bermula dari terbentuknya Paguyuban Keratuan Singapura yang mempunyai program seminar lokal, nasional hingga internasional. Kemudian kami menggagas Grebeg Ngunjung ke Makam Putri Ong Tien dan Sunan Gunung Jati,” beber pria yang akrab disapa Opan. Dia menceritakan, secara singkat kedatangan Putri Ong Tien Nio ke Cirebon. Berdasarkan naskah-naskah sejarah Cirebon dulu itu, Kanjeng Sunan Gunung Jati melakukan kunjungan ke Negeri Tar-Tar. Namun, keberadaan Negeri Tar-Tar ini masih menjadi perdebatan. “Yang jelas Sunan Gunung Jati di sana berdakwah sampai masuk ke wilayah Kekaisaran China. Dan, salah satu putri dari kaisar China di masa Dinasti Ming adalah Putri Ong Tien Nio,” terang Opan yang juga keturunan dari Keratuan Singapura. Singkat  cerita, Putri Ong Tien rela menempuh perjalanan jauh ke Jawa demi menjadi istri Sunan Gunung Jati. Mengingat Sunan Gunung Jati yang telah pulang lebih dulu ke Cirebon. “Akhirnya mereka pun menikah dan dikaruniai seorang anak. Namun, keturunan pertama itu meninggal dunia. Usia pernikahan Putri Ong Tien dengan Sunan Gunung Jati pun tidak berlangsung lama. Empat tahun lamanya. Setelah itu Putri Ong Tien meninggal dunia. Makamnya di lokasi dakwah (pesantren) Sunan Gunung Jati dan berdekatan dengan makam suaminya, Sunan Gunung Jati,” paparnya. Opan menjelaskan, meskipun usia pernikahan mereka hanya empat tahun, tapi kehadiran Putri Ong Tien mempunyai pengaruh besar di tanah Cirebon. Terutama pada pengaruh dan akulturasi budaya. “Artinya,  sebagian besar warisan budaya yang ada di Cirebon berasal dari Tiongkok.  Dalam dunia arsitektur, interior ruang di Cirebon selalu melekat dengan gaya arsitek China. Tidak hanya itu, Nasi Jamblang yang kini menjadi makanan khas Cirebon itu merupakan sejarah dari China. Di mana Nasi Jamblang itu dibuat oleh Ibu Tan Piau Lun orang China. Karena warga sekitar sulit menyebutkan nama China, jadi warga memanggilnya Nyai Pulung. Sekarang Nasi Jamblang menjadi makanan khas Cirebon,” jelasnya. Sementara itu, Penasihat Yayasan Keratuan Singapura Cirebon Permadi Budi Atma mengatakan, ziarah ke Putri Ong Tien sudah dilakukan keturunan Tionghoa. Namun, kali ini diagendakan dalam bentuk kegiatan Grebeg Ngunjung ke Makam Putri Ong Tien dan Sunan Gunung Jati. “Ziarah ini bagian dari mengurai sejarah yang belum terbuka. Keratuan Singapura menjadi inisiator untuk membuka sejarah asal-usul Cirebon,” ucapnya. Menurutnya, membuka sejarah yang masih terlipat itu sangat penting untuk menjaga martabat bangsa Indonesia, khususnya Cirebon. Salah satunya, Keratuan Singapura merupakan kerajaan pertama sebelum kerajaan Cirebon berdiri. Permadi menambahkan, sejauh ini masyarakat hanya mengetahui sosok Putri Ong Tien yang merupakan istri Sunan Gunung Jati saja. Namun, tidak ada yang mengetahui secara rinci seperti apa pengaruh Putri Ong Tien semasa hidupnya di Cirebon. “Jauh sebelum Cirebon berdiri, ada sejarah yang belum diketahui masyarakat mengenai asal-usul Cirebon dan peran warga Tionghoa membangun Cirebon. Salah satunya kedatangan Laksamana Cheng Ho. Di Cirebon juga menyebarkan Islam bersama anggota rombongannya Syekh Kuro, hingga mempunyai keturunan dan berperan penting di daerah Jawa,” tandasnya. Di tempat yang sama, Plt Bupati Cirebon Selly Andriyani Gantina mengatakan, potensi Kabupaten Cirebon ternyata bukan hanya dari sisi ekonomi saja. Tapi, ada sisi kebudayaan yang harus dilestarikan, mengingat potensinya sangat bagus untuk multiplier effect untuk Kabupaten Cirebon. “Udangan dari etnis Tionghoa di Gerebeg Ngunjung di makam Sunan Gunung Jati dan Putri Ong Tien ini membuka mata pemerintah daerah. Agar pemerintah daerah peduli terhadap akulturasi budaya yang terjadi selama ini. Artinya, keberadaan etnis Tionghoa bisa menjadi bagian dari kebudayaan Caruban,” kata Selly. Dia berharap, pada Hari Jadi Kabupaten Cirebon nanti, semua etnis Tionghoa dan semua elemen masyarakat dari berbagai golongan bisa ikut terlibat menyukseskannya. Dari situlah, kemudian bisa dilihat bahwa rakyat Cirebon kaya akan budaya. “Awal pertemuan ini dengan etnis Tionghoa, ke depan akan terus diagendakan setiap tahunnya. Utamanya ziarah ke makam Sunan Gunung Jati bareng etnis Tionghoa,”  pungkasnya.(sam) Sumbernya ada disini

KULINER, SEJARAH, TRADISI

Sejarah Terasi

Siapa menyangka, bahwa salah satu bumbu penyedap dapur ini memiliki sejarah panjang. Raja pertama di Cirebon, Pangeran Cakrabuana atau Mbah Kuwu Cirebon sering menyempatkan waktunya untuk mencari udang rebon. Hasil tangkapan udang rebon itu diolah menjadi terasi oleh Pangeran Cakrabuana. Sejarawan Cirebon Opan Safari menceritakan terasi olahan Pangeran Cakrabuana berkaitan dengan status Ketumenggungan yang diperoleh Cirebon dari Kerajaan Padjajaran. “Udang yang diolah menjadi terasi itu menjadi memiliki nilai lebih. Kepiawan Pangeran Cakrabuana membuat terasi menjadikan Cirebon diangkat menjadi Ketumenggungan,” kata Opan saat dihubungi detikcom melalui sambungan telepon, Jumat (2/3/2018) sore. Terasi Cirebon, Saksi Bisu Sejarah Kerajaan CirebonFoto: Sudirman Wamad Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon itu menceritakan, saat Cirebon diangkat menjadi Ketumenggungan, Pangeran Cakrabuana memiliki gelar sebagai Tumenggung Kelimangana di bawah kekuasaan Kerajaan Padjajaran. Gara-gara terasi, jabatan Pangeran Cakrabuana naik. Kemudian lanjut Opan, sejak diangkat menjadi Ketumenggungan, lanjutnya, Cirebon diwajibkan untuk membayar upeti. Selain menjadi saksi bisu perjalanan Cirebon menjadi kerajaan, Opan mengatakan, terasi sejatinya sudah ada sejak zaman dulu. Menurut Opan, terasi sempat memiliki masa kejayaan, tepatnya tahun 1415. “Keberadaan terasi sudah jelas, ada sejak zaman dulu. Sejak Cirebon belum menjadi kerajaan besar. Bahkan, sejak zaman Kerajaan Singhapura, terasi sudah ada,” kata Opan. Pada tahun kejayaan terasi itu, lanjutnya, Kerajaan Singhapura kedatangan pasukan besar dari Tiongkok yang dinahkodai Laksamana Cheng Ho. Opan menerangkan, kedatangan Cheng Ho ke Nusantara selain misi untuk penyebaran Islam, juga ada misi lain seperti pertukaran komoditas dari di Cirebon dengan yang dibawa dari Tiongkok. “Saat itu, Cheng Ho menyebarkan ilmu tentang kesyahbandaran, seperti mendirikan pelabuhan. Nah, uniknya Cheng Ho itu selalu membawa terasi saat pulang ke negerinya,” kata Opan. Tahun kejayaan terasi mulai luntur. Opan tak menampik saat ini perajin terasi di Cirebon mulai berkurang. “Walaupun dulu sempat berjaya di Nusantara, kini terasi Cirebon mulai sedikit, karena perajinnya semakin berkurang,” tutup Opan. (avi/avi) Sumber aslinya ada disini

SEJARAH, SITUS CIREBON, TRADISI

Pengaruh Putri Ong Tien di Cirebon

Ziarah Makam Sunan Gunung Jati dan Pengaruh Putri Ong Tien di Cirebon Prosesi ziarah warga Tionghoa Cirebon sebelum menuju Makam Putri Ong Tien di kompleks pemakaman Sunan Gunungjati, Cirebon. (Liputan6.com/Panji Prayitno) Liputan6.com, Cirebon – Perayaan Imlek bernuansa keberagaman di Cirebon, Jawa Barat, masih melekat di seluruh lapisan masyarakat. Terlihat dari antusiasme warga ikut serta dalam perayaan Cap Go Meh 2569 yang digelar, Jumat, 2 Maret 2018. Warga juga membantu dalam mengawal kelancaran seluruh rangkaian perayaan Tahun Baru China itu. Namun demikian, dari seluruh rangkaian perayaan Imlek, ada satu aktivitas yang unik digelar masyarakat Tionghoa Cirebon. Pantauan Liputan6.com di lokasi, sejak pagi warga Tionghoa Cirebon berkumpul di kompleks pemakaman Sunan Gunungjati, Cirebon. Bersama keluarga dan kerabat keraton, mereka menggelar doa bersama di depan pintu makam Sunan Gunungjati dan istrinya, Putri Ong Tien. “Istri Sunan Gunungjati dari Tiongkok dan beliau juga leluhur kita dan teladan di Cirebon untuk keberagaman,” kata penasihat Yayasan Keratuan Singhapura Cirebon, Permadi Budi Atma, usai ziarah. Budi Atma menjelaskan, ziarah tersebut bagian dari mengurai sejarah yang belum terbuka. Keratuan Singhapura menjadi inisiator untuk membuka sejarah asal-usul Cirebon. Sejarah tersebut penting untuk menjaga martabat bangsa Indonesia, khususnya Cirebon. Salah satunya, imbuh dia, Keratuan Singhapura yang merupakan kerajaan pertama sebelum kerajaan Cirebon berdiri. “Ada 10 program lagi yang akan kami jalankan berikutnya intinya untuk mengangkat sejarah yang belum terbuka dan agar semua orang tahu seperti apa sejarah Cirebon yang lebih lengkap,” ujar dia. Budi Atma mengatakan pula, sejauh ini, masyarakat hanya sekadar mengetahui sosok Putri Ong Tien yang merupakan istri Sunan Gunungjati saja. Namun, tidak ada yang mengetahui secara rinci seperti apa pengaruh Putri Ong Tien semasa hidupnya di Cirebon. Jauh sebelum Cirebon berdiri, ada sejarah yang belum diketahui masyarakat mengenai asal-usul Cirebon dan peran warga Tionghoa membangun kota tersebut. “Salah satunya kedatangan Laksamana Ceng Ho di Cirebon juga menyebarkan Islam bersama anggota rombongannya Syekh Kuro hingga mempunyai keturunan dan berperan penting di daerah Jawa,” ujar dia. Pengaruh Putri Ong Tien Adapun filolog Cirebon Opan Rahman Hasyim mengatakan, akulturasi budaya di Cirebon sudah melekat dengan masyarakat Tionghoa. Apalagi, dalam perkembangannya, Sunan Gunungjati pada 1540 Masehi menikah dengan Putri Ong Tien. “Budaya yang sulit dipisahkan khususnya di Cirebon antara Tionghoa dan Cirebon itu sendiri,” ucap Opan. Dia memaparkan, peran Putri Ong Tien dalam perkembangan Cirebon sangat besar. Setelah kepulangan dari Tiongkok, Kekaisaran China merestui pernikahan Sunan Gunungjati dengan Putri Ong Tien. Sejak saat itu, perkembangan Cirebon cukup pesat, terutama pada pengaruh dan akulturasi budaya. Dia mengatakan, dalam dunia arsitektur, interior ruang di Cirebon selalu melekat dengan gaya arsitek China. Dia mengatakan, sebagian besar warisan budaya yang ada di Cirebon berasal dari Tiongkok. “Contoh nasi jamblang yang ada di Desa Jamblang itu khas Cirebon, tapi sejarahnya dulu nasi jamblang dibuat oleh ibu Tan Piau Lun, orang China juga. Karena warga sekitar sulit menyebutkan nama China jadi warga memanggilnya Nyai Pulung, sekarang nasi jamblang khas Cirebon,” ujar dia. sumbernya ada disini

SEJARAH, SITUS CIREBON

Saksi Bisu Peperangan dengan Belanda di Cirebon

KERATON Kacirebonan merupakan keraton paling kecil dan paling akhir dibangun di antara dua keraton pendahulunya, yaitu Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman. Kacirebonan menyimpan cerita tentang peperangan antara Cirebon melawan Belanda di masa lampau. Keraton ini didirikan pada tahun 1808 oleh Pangeran Carbon Amirul Mukminin. Beliau adalah putra mahkota Sultan Kanoman keempat, Pangeran Muhammad Khaeruddin. Bisa dikatakan, Kacirebonan ini merupakan pecahan atau pemekaran dari Keraton Kanoman. Ketika itu Keraton Kanoman sedang dalam masa kepemimpinan Pangeran Muhammad Khaeruddin. Beliau memerintah dari tahun 1733 sampai wafatnya pada tahun 1797. Sejarah Tahun 1794, Belanda datang ke Cirebon dengan maksud ingin menguasai kota udang ini. Belanda mulai berniaga dan menjalin hubungan bilateral dengan Kesultanan Kanoman. “Yang dipilih Keraton Kanoman karena kedua kesultanan di Cirebon ini sedang pasang surut pamornya dan Kanoman lebih kuat. Maka Belanda memilih Kanoman sebagai mitra bisnis,” kata Rudi, seorang pemandu wisata di sana. Tidak berlangsung lama, hubungan bilateral ini mengalami gesekan yang mengakibatkan pecahnya perang Cirebon yang terjadi pada akhir 1794 hingga 1818. Perang Cirebon ini berlangsung dua kali. Perang yang pertama, Kesultanan Cirebon dipimpin oleh Pangeran Suryanegara, bergelar Raja Kanoman, yang merupakan putra mahkota Sultan Kanoman keempat. Tahun 1796, Belanda belum bisa menguasai Cirebon. Maka diubahlah strategi dari jalur peperangan menjadi jalur perundingan. Beberapa tokoh penting yang terlibat dalam perang Cirebon ini kemudian diundang. “Kesultanan Kanoman diwakili Pangeran Suryanegara. Tetapi, Kesultanan Kasepuhan yang ketika itu dipimpin sultan sepuh kelima, Pangeran Saefudin Matangaji, tidak hadir. Beliau cenderung lebih memilih jalan bersenjata untuk mengusir Belanda dari tanah Cirebon,” terang Rudi. Pada akhir perundingan, Pangeran Suryanegara ditangkap beserta pengikut-pengikutnya lantaran tidak mau menandatangani proposal perjanjian perdamaian. Alasannya adalah banyak poin dalam proposal tersebut yang akan merugikan rakyat Cirebon. Pangeran Suryanegara lalu dibuang ke Batavia. Masih tahun 1796, beliau diasingkan kemudian Ambon dan dipenjara di Benteng Viktoria. Mengubah strategi Tahun 1797, sultan anom keempat, Pangeran Muhammad Khaeruddin, yang ketika peperangan berlangsung memang sudah lanjut usia dan sakit hingga wafat. Seharusnya, Pangeran Suryanegaralah yang menjadi Sultan Kanoman kelima, tetapi karena berada di pengasingan maka jatuh pilihan ke beberapa putranya. Belanda saat itu masuk dan mendukung Pangeran Surantaka atau Pangeran Imamudin Abdul Sholeh karena dianggap lebih kooperatif. Pangeran Surantaka memang lebih bersikap kooperatif dengan Belanda. “Pangeran Surantaka kooperatif karena memang Cirebon sudah sekian tahun berperang dengan Belanda. Kalau dipaksakan terus, Cirebon akan lemah dan dikuasai. Maka jalan satu-satunya adalah berbaik-baik dulu dengan Belanda,” ujarnya. Tahun 1799 pecahlah perang Cirebon yang kedua, yang disebut perang santri karena kalangan kiai dan santri dimotori oleh sultan sepuh kelima Pangeran Saefudin Matangaji menggempur Belanda. Herman Willem Daendels, yang pada tahun 1806 menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda akhirnya memulangkan Pangeran Suryanegara ke Cirebon. Sepulangnya dari pengasingan, Pangeran Suryanegara tidak kembali ke Karton Kanoman tetapi memilih tinggal di daerah Sunyaragi dan berganti nama menjadi Pangeran Carbon Amirul Mukminin. Akhirnya didirikanlah Keraton Kacirebonan dan beliau wafat pada tahun 1814. Koleksi di dalam Keraton Kacirebonan Ada banyak peninggalan yang dapat dilihat di dalam keraton ini. Dari bagian luar terlihat sebuah pendopo yang cukup besar dengan dominasi warna putih, hijau, dan emas. Perabotannya seperti meja dan kursi terbuat dari kayu yang hingga kini masih asli. Di dindingnya terpajang foto-foto dari kesultanan Cirebon dari dulu hingga sekarang. Di dalam pendopo terdapat berbagai macam peninggalan yang tersimpan rapi dalam etalase. Di antaranya ada keris, pedang, buku, beberapa guci pemberian negara tetangga, uang kuno, gamelan, hingga koleksi baju pengantin. Keraton Kacirebonan bebas dikunjungi oleh siapapun dengan tiket masuk seharga Rp 10.000. Pengunjung akan dipandu oleh pemandu wisata dengan biaya seikhlasnya. Keraton Kacirebonan beralamat di Jalan Pulasaren, Pekalipan, Kota Cirebon, Jawa Barat. (Elvin Rizki Prahadiyanti)*** sumbernya ada disini

SEJARAH, SENI BUDAYA, SITUS CIREBON

Kisah Cinta Putri Ong Tien

Perjalanan Cinta Sunan Gunung Jati dan Putri Ong Tien Sunan Gunungjati bertemu Putri Ong Tien di Cina (Istimewa/Liputan6.com/Panji Prayitno) Liputan6.com, Cirebon – Etnis Tionghoa menjadi salah satu elemen penting dalam pembangunan Cirebon hingga saat ini. Terlebih, dari sejarah berdirinya Cirebon, Sunan Gunungjati menikahi anak Kaisar China bernama Putri Ong Tien. Peran warga Tionghoa juga semakin meningkat sejak pernikahan Sunan Gunungjati dengan Putri Ong Tien yang juga berasal dari Tiongkok pada 1540. Kedatangan Putri Ong Tien ke Cirebon dikawal oleh ribuan pasukan yang sebagian besar lantas mengabdi. Filolog Cirebon Opan Rahman Hasyim mengatakan, kecintaan Sunan Gunungjati kepada Putri Ong Tien tidak diragukan lagi. Meski usia pernikahan mereka hanya empat tahun, wali kesembilan tersebut sangat mencintai Putri Ong Tien. Opan menuturkan, saat Putri Ong Tien wafat, Sunan Gunungjati seakan merasa kehilangan sosok yang yang dicintainya. Bahkan, kata dia, Sunan Gunungjati selalu merasakan rindu yang sangat dalam sejak istrinya wafat. Dia menyebutkan, dahulu kompleks pemakaman Sunan Gunungjati adalah pesantren. Di kompleks tersebut, Sunan Gunungjati tinggal, berdakwah, dan mengajar ngaji. Hingga keduanya wafat dan ditambah seiring berjalannya waktu, pesantren yang didirikan Sunan Gunungjati tersebut menjadi kompleks pemakaman. Posisi makam Sunan Gunungjati pun tidak jauh dari makam Putri Ong Tien. “Tempat mengajar ngaji dan tempat tidur Sunan Gunungjati sekarang menjadi makam dan di sebelahnya makam Putri Ong Tien,” ujar dia. Perjalanan bertemunya Sunan Gunungjati dengan Putri Ong Tien membutuhkan waktu yang cukup panjang. Opan Safari menjelaskan, pertemuan Sunan Gunung Jati dengan Putri Ong Tien berawal saat Sunan Gunungjati berdakwah di negeri Tartar, sebelah utara China. “Letak negeri Tartar sampai saat ini masih jadi perdebatan. Ada yang bilang di Mongol, Provinsi Fujiyan, ada juga yang bilang di sekitar Cuan Cou,” ujar dia. Seiring perjalanan misi dakwahnya di negeri Tartar, Sunan Gunungjati bertemu dengan kalangan bangsawan Kekaisaran Cina. Saat pertemuan tersebut, Sunan Gunungjati melihat Putri Ong Tien. Singkat cerita, kata Opan, Sunan Gunungjati sempat melamar Putri Ong Tien. Namun, saat itu, pihak Kekaisaran China tidak merestui pinangan Sunan Gunungjati. “Hingga akhirnya Sunan Gunungjati pulang ke tanah Jawa di Cirebon dan beraktivitas seperti biasa,” tuturnya. Namun demikian, Kekaisaran China berubah pikiran dan merestui lamaran Sunan Gunungjati. Ribuan anggota pasukan Kekaisaran China pun dikirim untuk mengawal keberangkatan Putri Ong Tien ke Cirebon. Seiring berjalannya waktu, Sunan Gunungjati pun bertemu Putri Ong Tien di Cirebon, menikah hingga wafat. Sementara itu, ribuan personel pasukan yang mengawal Putri Ong Tien memilih menetap di tanah Jawa. “Pasukan Putri Ong Tien tersebar sampai ke Kuningan dan Indramayu. Mereka juga menetap dan menikah dengan penduduk setempat,” kata Opan. Sumbernya ada disini

KULINER

Sarapan Jamblang yang Legendaris di Cirebon

Sarapan Nasi Jamblang Pelabuhan yang Legendaris di Cirebon TEMPO.CO, Cirebon – Datanglah ke ujung gang senggol Jalan Pasuketan, Panjunan Lemahwungkuk, Kota Cirebon. Di sana terdapat surga kuliner yang legendaris. Namanya nasi jamblang pelabuhan. Petunjuk untuk menuju lokasi nasi jamblang pelabuhan hanyalah sebuah papan nama kecil. Di sampingnya ada tanda panah yang mengarahkan orang menuju jalan setapak—jalan masuk ke  warung itu. Memang cukup sulit mencari papan penanda warung sederhana yang buka sejak 1970 ini. Apalagi kadang-kadang papan nama nasi jamblang pelabuhan tertutup barisan mobil yang berjejalan parkir di depan gang. Namun kesulitan tersebut sebanding dengan rasa santapan yang didapat ketika pelancong sudah sampai di depan meja panjang yang digelar Asneri, penerus kedua warung nasi jamblang itu. Di meja tersebut tersedia berbagai menu rumahan yang tampak nikmat, lagi menggairahkan. Ada tempe goreng, telur dadar, oseng kerang, daging sapi, dan yang paling spesial: sontong serta semur tahu. Semua menu itu dikemas sederhana, tapi punya cita rasa bintang lima. Lauk-pauk selengkap ini nikmat disantap bersama nasi yang istimewa, yakni nasi jamblang. Nasi jamblang adalah nasi yang dibungkus daun jati dengan ukuran mini. Makanan ini umum menjadi menu sarapan sehari-hari orang Cirebon.Nasi jamblang atau sega jamblang makanan khas Cirebon, Jawa Barat. Sega jamblang adalah nasi dingin yang dibungkus daun jati, kemudian dimakan bersama dengan lauk-pauk khasnya seperti rendang kecap, tahu air, sate kentang, paru goreng, dll. TEMPO/Subekti. Nasi jamblang pelabuhan milik keluarga Asneri menjadi favorit lantaran punya aroma yang wangi. Musababnya, daun yang dipakai untuk membungkus adalah daun jati yang masih muda. Daun jati muda memberi aroma khas dan mempengaruhi citarasa. Tekstur nasinya juga pas, tak dimasak terlalu pulen, dan empuk seperti ketan. Keunikan rasa nasi jamblang milik keluarga Asneri sudah diakui orang luar dan orang asli Cirebon. Kata Asneri, resep masakan yang dipakai untuk mengolah bumbu adalah resep turun-temurun dari keluarga yang dipertahankan, waktu demi waktu. Nasi jamblang pelabuhan tergolong murah. Harganya Rp 1.500 per bungkus. Sedangkan lauknya berkisar Rp 1.500 hingga Rp 15 ribu. Untuk menuju warung nasi jamblang pelabuhan, wisatawan bisa naik angkutan D6 dari seberang Stasiun Kota Cirebon menuju Jalan Karanggetas. Kemudian dilanjutkan naik angkutan GG jurusan Mundu, turun di Ade Irma Suryani atau Jalan Kantor. Dari jalan itu, wisatawan kudu berjalan kaki sekitar 50 meter ke arah pelabuhan. Tarif angkutan umum berkisar Rp 4.000. Setelah semua ini, nasi jamblang nan istimewa sudah menanti Anda. sumbernya dari sini

KULINER, WISATA

Empal Gentong Legendaris di Cirebon

PERNAH dengar nama empal gentong? Makanan khas Cirebon yang lezat ini masih terus eksis hingga sekarang. Banyak pedagang yang menjajakan dari mulai menggunakan gerobak hingga restoran ternama. Bisa dibilang empal gentong hampir serupa dengan gulai, namun yang paling membedakan adalah cara memasaknya. Empal gentong memiliki keunikan karena dimasak di dalam sebuah gentong. Empal gentong pertama kali diperkenalkan dari Desa Battembat, Cirebon. Lalu mulai berkembang ke berbagai pelosok di kota ini. Gentong yang digunakan terbuat dari tanah liat. Alasan menggunakan gentong sebagai alat masak adalah diyakini cara ini membuat cita rasa menjadi lebih nikmat. Bumbu juga akan semakin meresap ke dalam potongan isian, yaitu daging sapi, usu, babat, dan kikil. Sebagai pelengkap rasa, empal gentong biasanya ditaburi kucai dan serbuk cabai. Satu porsi empal gentong disajikan dengan sepiring nasi atau lontong dan juga dorokdok. Dorokdok adalah kerupuk dari bahan kulit sapi atau kerbau. Perpaduan yang pas untuk disantap. Ini beberapa kedai empal gentong legendaris di Cirebon 1. Empal Gentong Ibu Dharma Empal gentong Ibu Dharma adalah salah satu tempat makan paling tua dan legendaris di Cirebon. Warung ini kini dikelola oleh anak dari Ibu Dharma yang sudah lama meninggal dunia. Potongan daging dan tetelannya pun besar dan banyak. Harga satu porsinya adalah Rp24.000 sudah dengan sepiring nasi atau lontong. Di sini juga disediakan tambahan dorokdok seharga Rp. 8.000 per porsi. Tempat makan ini buka dari pukul 08.00-16.00. Atau bahkan bisa tutup lebih awal jika sudah ludes. Lokasinya berada di Jalan Diponegoro No. 21 Cirebon. 2. Empal Gentong Amarta Amarta bertempat di Jalan Ir. H. Juanda No. 37, Battembat, Cirebon. Tidak hanya menyajikan menu empal gentong, Amarta juga menyajikan menu lain, yaitu empal asem. Kuah empal asem tidak menggunakan santan, melainkan terbuat dari dari perpaduan belimbing wuluh dan asam jawa. Empal gentong Amarta buka pukul 09.00-20.30 setiap hari. Satu porsinya dihargai Rp24.000 dan ditambah Rp5.000 untuk sepiring nasi. 3. Empal Gentong Apud Tidak jauh dari Amarta, empal gentong Apud berlokasi di Jalan Ir. H. Juanda No. 24, Battembat, Cirebon. Kini Empal Apud telah memiliki tiga cabang di Cirebon, dua lainnya berlokasi di Jalan Tuparev dan kawasan Trusmi. Di sini juga tersedia menu empal asem dan sate kambing. Satu porsi empal gentong dan empal asem dijual dengan harga Rp23.000 dan ditambah Rp5.000 untuk sepiring nasi. Empal Apud buka dari pukul 08.00-17.00. (Elvin Rizki Prahadiyanti)***  Sumbernya disini

TRADISI

Ngarak Benda Pusaka di Cirebon

Cirebon di Jawa Barat punya Tradisi Ngarak Pusaka. Inilah saat benda-benda pusaka diarak sebagai tanda menyambut musim tanam di sawah. Setelah zuhur, ember-ember tersebut mulai dijejer. Pemilik ember menunggu dengan setia. Tepat pada pukul 13.00 WIB, tongkat pusaka empat kepala naga diarak keliling Desa Bulak, Kecamatan Arjawinangun, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Ujung tongkat yang runcing dicelupkan ke ember, yang sudah berjejer. Selian tongkat pusaka berwarna emas itu, dua gong dengan ukuran besar dan kecil ikut diarak. Arak-arakan pusaka yang dicelupkan ke ember milik masyarakat desa itu dimulai dari rumah milik H Mulyani, Kepala Desa Bulak. Kemudian keliling dan kembali menuju rumah Mulyani. Ramai, di depan rumah warga berjejer ember. Bahkan, ada juga yang menggunakan ketel. Tiap tahun masyarakat Desa Bulak menggelar tradisi tersebut. Selain itu, tradisi arak-arak benda pusaka itu sebagai tanda menyambut musim tanam. Rasa suka cita masyarakat tergambar dalam tradisi itu. Anak-anak hingga orang tua antusias mengikuti tradisi tersebut. Air bekas celupan benda pusaka itu diyakini warga memiliki berkah. Bahkan bisa menyembuhkan penyakit dan menyuburkan padi. Masyarakat menggunakan air tersebut untuk mandi, sisanya digunakan untuk menyiram tanaman padi. Seperti yang dilakukan Jaenudin salah seorang warga Desa Bulak. Jeanudin sengaja menydiakan satu ember berisi air dan kembang. Jaenudin pun menunggu arak-arakan benda pusaka melintas di depan rumahnya. Usai ember miliknya mendapat celupan benda pusaka. Jaenudin pun langsung bergegas ke sawah miliknya dengan membawa ember berisi air kembang itu. “Iya mau saya siram ke sawah. Supaya sawahnya subur, gak diserang hama,” kata Jaenudin, Kamis (8/2/2018). Sementara itu, Kepala Desa Bulak, H Mulyani mengatakan tradisi arak-arakan benda pusaka merupakan tradisi ratusan tahun. Tradisi tersebut merupakan tradisi tahunan menyambut musim tanam. “Benda pusaka ini milik Buyut Kesmadi, orang yang membabad alas Desa Bulak. Cuma di Bulak yang seperti ini,” ucap Mulyani saat ditemui di rumahnya usai mengarak benda pusaka. Mulyani mengatakan Buyut Kesmadi merupakan tangan kanan dari orang pertama yang menjadi raja di Cirebon, yakni Mbah Kuwu Sangkan atau Pangeran Cakrabuana. Tongkat pusaka dan dua gong yang diarak, sambung Mulyani, merupakan alat penyebaran islam yang dilakukan Buyut Kesmadi. “Intinya kita memelihara tradisi yang sudah ada sejak dulu. Kita pandang ini sebagai tradisi yang harus dilestarikan, doa tetap kita panjatkan kepada Allah,” tutupnya. Sumbernya dari Sini

Scroll to Top