BUKU, SEJARAH

Menelusuri Jejak Kakek Sunan Gunung Jati

Raden Pamanah Rasa, kakek dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)–dalam konteks Sunda-Siliwangi-Padjajaran merupakan episode The Last Kujang di abad XVI. Sosok pemimpin Sunda yang muncul dari latar kesedihan dinasti terdahulu, dengan kharisma yang merambat ke seantero Nusantara, tak terkecuali tatkala kepulauan ini terjamah para pendatang dari Eropa. Sosok raja Sunda yang berkarakter ‘teuas peureup lemes usap, pageuh keupeul lega awur’ yaitu kepemimpinan yang memiliki keteguhan dalam berprinsip dengan tetap menjunjung tinggi makna welas asih, serta memiliki jiwa yang bersahaja yang tetap memikirkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Dialah sosok raja besar yang diakui oleh beragam keyakinan. Novel ini, kabarnya, menjadi sebuah gong untuk penulisan-penulisan novel selanjutnya tentang kemaharajaan Nusantara yang belum terungkap. Novel ini ditulis berdasarkan kisah tutur dalam tradisi lisan. Penulis berupaya menuliskan apa yang tak sempat dituliskan. Ruang-ruang yang samar, bahkan gelap, dalam sejarah rupanya memberikan keleluasaan bagi penulis untuk menggali narasi dengan mengandalkan imajinasi, mencoba mencari titik sambung antara satu dan lain masa, membentangkan garis hubungan antara tempat yang satu dan tempat lainnya. Dari awal sampai akhir cerita, sangat tampak bahwa penulis cerdas dalam menata data sejarah ke dalam bentuk novel, patut diacungi jempol. Sejarah yang mana, dari mana, bagaimana tingkat kesahihannya, dipadu dengan data yang berasal dari tradisi lisan menjadikan ‘sejarah’ Raden Pamanah Rasa yang putus kejadiannya menjadi hidup dan berkesinambungan. Novel ini menyiratkan pesan yang mengajak kita untuk berani mempertaruhkan bahwa tradisi lisan patut diperhatikan dengan seksama keberadaannya. Sejarah bukanlah sekadar kejadian di masa lalu, sesungguhnya ia merupakan “ruh” yang mewarnai kehidupan suatu bangsa, maka bangsa yang beradab tidak pernah melupakan kisah sejarah para leluhurnya. Dalam novel Raden Pamanah Rasa ini banyak tersaji nama tokoh sejarah di zaman kerajaan dan itu membantu mengingatkan kita kepada “jati diri dan cara-ciri kebangsaan” yang dibentuk oleh keberadaan sejarah kerajaan besar beserta tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya. Selain gambaran sejarah, melalui novel ini, penulis mampu mengungkap dan menuturkan dengan baik nilai-nilai filosofi adi luhung yang disisipkan melalui jalan cerita, bahkan cukup banyak peristilahan dengan sengaja tidak diganti ke dalam bahasa Indonesia agar tidak mengurangi makna yang sesungguhya. Raden Pamanah Rasa, kisah berlatar sejarah Nusantara yang digali dari sumber tradisi lisan, memang sangat pelik untuk diungkapkan dalam kondisi kekinian. Setidaknya diperlukan gaya ungkap yang memadukan alur rasional, emosional, dan spiritual. Penulis benar-benar melesat jauh melebihi genre-nya. Keyakinan ia dalam menggali sumber kisah, bukan hanya mengandalkan modalitas auditif, melainkan visual dan kinestetik. Ia melumatkan secara kritis dirinya dalam sumber, sehingga misi kisah menghunjam jantung perenungan dan mendobrak kesadaran akan kejatidirian. Raden Pamanah Rasa atau dalam cerita pantun dikenal dengan nama Mundinglaya Di Kusuma atau Sunan Pagulingan ketika posisinya menjadi Rama adalah putra Sunan Prabu Dewa Niskala atau Ningrat Kancana bergelar Adipati Kertabumi ketika memegang posisi sebagai Ratu Galuh atau Prabu Anggalarang ketika menjadi Raja Sunda di Pakujajar. Ketika berdiam di Cirebon Girang, Prabu Anggalarang bergelar Ki Gedeng Singapura. Setelah terjadinya Perang Bubat, bukan saja menggagalkan pernikahan Mayong Wuruk (Hayam Wuruk) dengan Dyah Pitaloka Citraresmi, Raden Purwa Andayaningrat atau Hyang Bunisora yang ketika menjadi Mahapatih Pakuan dikenal dengan nama Mahapatih Anapaken atau Batara Guru Niskala Wastukancana memindakan Kerajaan Galuh dari Panjalu ke Lawang Gintung dengan nama Galuh Anyar atau Kerajaan Pakujajar. Sementara Adipati Kertabumi atau Ningrat Kancana atau ketika berasa di Muntur/Panjalu dikenal dengan nama Prabu Di Muntur, pindah ke Jonggol mendirikan Kerajaan Subang Larang. Di Kerajaan Subang Larang inilah Ningrat Kancana bergelar Ki Gedeng Singapura. Kerajaan ini diperuntukan untuk putra mahkotanya yaitu Raden Pamanah Rasa. Semasa Kerajaan Pakujajar yang berdiri di atas falsafah negara yaitu Negara Kerta Bumi, posisi Ratu dipegang oleh Ningrat Kancana atau Dewa Niskala, sedangkan posisi Resi dipegang oleh Rahyang Kancana atau Prabu Susuk Tunggal atau Sang Haliwungan yang ketika di Jawa bernama Mayong Wuruk atau Hayam Wuruk. Kerajaan Pakujajar tidak lama berdiri karena hadirnya Amuk Murugul atau Adipati Nangganan yang menginginkan posisi Rama Agung. Obsesis Amuk Murugul ini diwujudkan dengan upaya mengadudomba dua saudara yaitu Prabu Anggalarang dengan Prabu Susuk Tunggal. Akibat dari fitnah inilah kemudian muncul Perang Cogreg. Sebagai akibatnya kedudukan Prabu Anggalarang dari posisi Ratu dan menurunkan Prabu Susuk Tunggal dari posisinya sebagai Resi, kemudian memindahkan pusat pemerintahan dari Lawang Gintung ke Sumedang Larang dengan nama Pakuan Pajajaran. Sebelum peristiwa ini Raden Pamanah Rasa yang waktu itu posisinya masih sebagai Putra Mahkota Kerajaan Galuh, pernah saling berhadapan dengan Amuk Murugul yaitu dalam peristiwa sayembara yang diselenggarakan oleh Ki Gedeng Tapa penguasa di Cirebon Girang, untuk memperebutkan putrinya Nyai Subang Larang. Sayembara ini dimenangkan oleh Raden Pamanah Rasa yang menyamar menjadi Raden Sunu sebagai perwakilan wilayah Surantaka. Kemudian keduanya menikah. Ini merupakan pernikahan kedua bagi Raden Pamanah Rasa, karena sebelumnya setelah menaklukan Harimau Putih atau Giling Wesi dari Kerajaan Harimau, telah menikah dengan Nyai Ambet Kasih atau Putri Buniwangi, putri Ki Gedeng Sendang Kasih penguasa di Surantaka yang tak lain adalah adik Raja Galuh (ayah Raden Pamanah Rasa), Prabu Anggalarang. Pernikahan Raden Pamanah Rasa dengan Nyai Ambet Kasih merupakan wujud cinta yang telah lama bersemi, karena sejak kecil sebenarnya Raden Pamanah Rasa dididik dan diangkat putra oleh Ki Gedeng Sendang Kasih. Kegemaran Raden Pamanah Rasa mengembara, menyebabkan posisi sebagai Surantakan ditinggalkan dan diurus oleh Nyai Ambet Kasih. Baru setelah turunnya Prabu Anggalarang dari posisi Ratu dan memindahkan pusat Kerajaan ke Sumedang Larang dengan nama Pakuan Pajajaran, Raden Pamanah Rasa menerima jabatan sebagai Raja Pakuan Pajajaran. Datangnya Portugis ke Malaka menjadi pekerjaan berat bagi Raden Pamanah Rasa dalam posisi sebagai Raja Sunda. Ekspedisi Portugis yang datang ke Malaka dengan persenjataan modern (menggunakan senapan dan meriam) bukan tandingan para datuk di Nusantara yang pada saat itu masih menggunakan senjata tradisional. Misi ekspedisi Portugis yang datang untuk menjalin hubungan perdagangan dengan raja-raja di Nusantara ternyata menyimpan misi rahasia yaitu penyebaran agama katolik. Keadaan ini juga membuat bingung para datuk karena ternyata misi dagang itu dipersenjatai lengkap seperti layaknya pasukan atau angkatan perang. Tentu saja ketika para datuk di Malaka bertekuk lutut, mereka dipaksa untuk menyampaikan ajaran agama baru itu. Inilah yang kemudian membuat bingung para datuk, sebab Nusantara pada saat itu telah menganut agama islam. Ketika dalam pertemuan, akhirnya para datuk menyetujui niat ganda pasukan Portugis itu dengan

SITUS CIREBON

Makam Sunan Gunung Jati yang Paling Diminati diantara 161 Situs Bersejarah di Cirebon,

Ada 161 situs resmi di Kabupaten Cirebon yang sudah diresmikan Pemkab Cirebon. Data tersebut merupakan data terbaru tahun 2018 di Dinas Budaya Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora). Situs tersebut di antaranya makam dan barang-barang yang sifatnya artefak. Beberapa kesenian budaya di Cirebon juga kerap mendapatkan pelatihan dan pendidikan dari Disbudparpora. “Pelatihan tersebut bertujuan agar budaya itu tidak punah,” ujar Kabid Budaya Disbudparpora, Oop Opadi, saat ditemui di ruangannya, Selasa (6/2/2018). Menurut Oop, situs yang banyak dikunjungi adalah Makam Sunan Gunung Jati dan Makam Mbah Kuwu Sangkan Talun. Sedangkan untuk kesenian Cirebon, yang paling banyak diminati dan menjadi ikon Cirebon adalah topeng. “Topeng Cirebon itu menampilkan karakter manusia, setiap topeng pasti berbeda pula karakternya,” tambah Oop Opadi. Kini, Disbudparpora Kabupaten Cirebon masih terus meneliti berbagai penemuan baru yang dilaporkan masyarakat.

SEJARAH

Kisah Murid Sunan Gunung Jati di Pantai Sedari Karawang

Pantai Sedari cukup digemari traveler yang berlibur di Karawang. Asal muasal nama pantai ini pun ada hubungannya dengan seorang murid Sunan Gunung Jati. Pemberian nama tempat pasti punya sejarah dan asal usulnya. Seperti nama Desa Sedari di Kecamatan Cibuaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Sebutan Sedari sebagai nama desa dan pantai berasal dari nama Dewi Sondari, seorang putri cantik penyebar Islam asal Kudus. Tidak semua warga Karawang mengetahui asal-usul Pantai Sedari, yang sekarang sedang hits. Tak banyak juga yang tahu, jika Sedari dinamai oleh Syekh Kudus Jana Pura, seorang murid Sunan Gunung Jati, penyebar Islam pada abad ke-16. Ternyata, penamaan daerah Sedari dengan Syekh Kudus Jana Pura diyakini penduduk asli punya keterkaitan. Kisahnya berawal dari misi penyebaran Islam oleh Wali Songo, Kesultanan Demak dan Cirebon. Kisah Dewi Sondari diteruskan turun temurun secara lisan oleh penduduk setempat. Saat ini seorang warga asli Sedari sedang menulis buku sejarah desanya. Si penulis menggali informasi dari keturunan langsung Syekh Jana Pura yang sampai sekarang masih tinggal di Sedari. “Penelusuran juga sampai ke Pisangan, Praubosok, Cirebon, hingga Kudus, yang merupakan asal Syekh Jana Pura,” kata Zakaria Husein, seorang sejarawan lokal kepada detikTravel di dekat makam Syekh Kudus Jana Pura, Minggu (3/12/2017) Sejarah Sedari, menurut Zakaria berawal dari penyebaran Islam oleh Kesultanan Demak dan Cirebon. Dua kesultanan itu dikenal sebagai motor penyebaran Islam di pulau Jawa, pun dikenal sebagai kerajaan Islam pertama dan terbesar di pantai utara Jawa. Begitupun dengan Cirebon. Keduanya terletak di pesisir utara Jawa. Demak di bagian tengah Pulau Jawa, sedangkan Cirebon di pesisir utara Jawa bagian barat. Pada awal abad ke-16, saat Sunan Gunung Jati menjabat sebagai Sultan Cirebon, ia mengutus seorang murid ke pesisir barat jauh dari wilayah Cirebon pada tahun 1518. Murid itu adalah Syekh Jana Pura yang berasal dari Kudus. Ia diberi misi untuk membuat pedukuhan atau pemukiman di hutan belantara dekat laut. Pedukuhan itu diyakini sebagai pos kesultanan Cirebon di pesisir utara bagian barat kesultanan Islam itu. “Saat itu, Sunan Gunung Djati menyuruh Syekh Jana Pura untuk membuka hutan di wilayah yang kini disebut pantai Pisangan hingga Sedari di Karawang,” ungkap pria 46 tahun itu. Setelah 10 tahun memimpin pedukuhan di Pisangan, dua putri Syekh Jana Pura dari Kudus datang berkunjung. Mereka adalah Dewi Sondari dan Andidari Wangsayuda. “Keduanya menetap beberapa tahun di sana,” kata Zakaria yang merupakan kerabat kepala Desa Sedari ke-9. Saat dikunjungi kedua putriya, Syekh Jana Pura mendapat misi menyebarkan Islam ke Sedari, yang saat itu dikenal dengan Tanjung Suwung. “Wilayah itu dulu dihuni oleh orang-orang pelarian kerajaan Telaga. Syekh Jana Pura lalu mengislamkan orang-orang di sana dan membuat pedukuhan,” kata Zakaria. Keberhasilan Syekh Jana Pura mengislamkan penduduk Tanjung Suwung rupanya sampai ke Kudus. Menurut Zakaria, tak lama kemudian Dewi Sondari dipinang oleh Raden Imanillah, salah satu kerabat Sunan Kudus. “Sondari lalu kembali ke Kudus,” ungkap Zakaria yang mengaku menghabiskan belasan tahun untuk menulis sejarah desanya, juga menelusuri kisah Syekh Jana Pura. Untuk memperingati pernikahan putrinya, kata Zakaria, Syekh Jana Pura memberikan nama Sondari untuk pedukuhan di Tanjung Suwung. “Nama itu bertahan hingga kini,” ungkap Zakaria. Zakaria mengatakan, warga asli percaya, Syekh Kudus Jana Pura tinggal di Sedari hingga akhir hayat. “Menurut cerita keluarga, beliau meninggal pada tahun 1567 masehi,” Ia pun dimakamkan di dekat Pantai Sedari, detik melihat makam itu terletak di dekat kolam, dikelilingi pepohonan mangrove. “Makam ini selalu ramai dikunjungi peziarah, dari Cirebon, Kudus bahkan dari Banten,” kata Zakaria. (krn/krn) Sumbernya dari sini

SEJARAH

Kelenteng Tertua di Jawa ada di Cirebon

Kelenteng Tertua di Pulau Jawa Ternyata Ada di Cirebon, Loh Kelenteng Hok Keng Tong atau Wihara Dharma Sukha merupakan kelenteng tertua di Pulau Jawa. Usia kelenteng yang berada di Jalan Pasar Kue, Desa Panembahan, Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon, itu mencapai 629 tahun. “Dibangun sejak 1389 M, namun bangunan aslinya sudah tidak ada lagi,” kata Oyan Sugianto (66), Pemandu Wihara Dharma Sukha, saat ditemui di Kelenteng Hok Keng Tong, Jalan Pasar Kue, Desa Panembahan, Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon, Kamis (15/2/2018). Ia mengatakan, seluruh bangunan kelenteng merupakan bangunan baru. Di kompleks Kelenteng Hok Keng Tong ada dua bangunan utama yang didominasi warna merah. Di dekat gerbang masuk kelenteng terdapat sebuah pagoda kecil yang terdiri dari 7 lantai. Pagoda tersebut merupakan tempat pembakaran kertas usai sembahyang. Bangunan yang lebih besar diperuntukkan sebagai kelenteng. Di terasnya terdapat enam tiang penyangga yang berukuran cukup besar. Ukiran naga tampak melilit tiang di sisi kanan dan kirinya. Sementara di depannya terdapat dua patung macan yang masing-masing menengok ke arah kanan dan kiri. Di bagian teras itu juga terdapat sebuah benda seperti gentong untuk meletakkan dupa. Terdapat beberapa dupa di benda yang dihiasi ukiran naga di kedua sisinya itu. Masuk ke bagian dalam kelenteng terdapat beberapa patung dewa berwarna emas. Di antaranya, Dewi Kwan Im, Dewa Kwan Kong, dan Dewa Hok Teng Tjeng Sin yang merupakan “tuan rumah” di Kelenteng Hok Keng Tong. “Patung Dewa Hok Tek Tjeng Sin di sini merupakan yang tertinggi dibanding lainnya, makanya diberi gelar Thai Sheng Hud Tong,” ujar Oyan Sugianto. Ia mengatakan, umat Konghucu yang tahu sejarah pasti akan berkunjung ke Kelenteng Hok Keng Tong. Pasalnya, Dewa Hok Tek Tjek Sin di kelenteng itu tingkatannya menjadi yang tertinggi. Sementara bangunan Wihara Dharma Sukha tampak lebih kecil berada persis di samping kanannya. Di dalam wihara itu terdapat tiga patung Budha. Yakni, Amithaba Budha, Budha Gautama, dan Budha Bhaishajyaguru. “Bangunan asli kelenteng memang sudah tidak ada, tapi patung dewa dan hiasan dinding di sini masih asli dari pertama dibangun ratusan tahun lalu,” kata Oyan Sugianto. (*) http://jabar.tribunnews.com/2018/02/15/kelenteng-tertua-di-pulau-jawa-ternyata-ada-di-cirebon-loh

WISATA

Tempat Faporit Menyantap Nasi Jamblang Cirebon

Berdasarkan penilain para wisatawan yang berkunjung ke cirebon, ada tiga Tempat Favorit Menyantap Nasi Jamblang Khas Cirebon NASI putih porsi kecil dengan pilihan menu lauk pauk beragam tidak hanya ditemui di Yogyakarta dengan nasi kucingnya. Cirebon juga memiliki versinya sendiri, nasi jamblang! Nasi jamblang juga berupa nasi putih yang dibungkus kecil seperti nasi kucing. Bedanya, nasi ini dibungkus dengan daun jati. Alasannya agar nasi tidak cepat basi dan tetap pulen. Sekali makan, biasanya pembeli bisa makan sampai tiga bungkus nasi. Lauk-pauknya ada banyak pilihan. Mulai dari daging, tempe, sate telur puyuh, tetelan, cumi, pepes, dan lainnya. Kekhasan kuliner satu ini juga terletak pada sambalnya. Sambal terbuat dari irisan cabai merah yang tidak terlalu pedas. Berikut ini tiga tempat makan nasi jamblang yang populer di Cirebon. Selamat mencoba! Nasi Jamblang Ibu Nur Di tempat makan ini pembeli harus mengantre dan mengambil sendiri menu yang diinginkan. Harganya tiap menunya beragam, mulai dari dua ribu rupiah hingga belasan ribu rupiah. Tempat makan ini juga menyediakan menu lain seperti empal gentong, empal asem, dan es durian. Rumah makan ini berlokasi di Jalan Cangkring II No. 34, Kejaksan, Kota Cirebon. Buka setiap hari dari pukul 07.00-21.00 WIB. Nasi Jamblang Mang Dul Berada di pusat kota, tempat makan ini tidak pernah sepi pembeli. Lokasinya strategis, berada di sebrang Grage Mall, tepatnya di Jalan Doktor Cipto Mangunkusumo No. 8, Pekiringan, Kota Cirebon. Di depan tempat makan ini juga terdapat penjual es durian khas Cirebon. Buka setiap hari pukul 04.30-15.00 dan 17.00-00.00. Cocok untuk Anda yang kelaparan tengah malam. Nasi Jamblang Ibad Otoy Satu lagi tempat makan nasi jamblang favorit di Kota Cirebon, Ibad Otoy. Berlokasi di Jalan Doktor Mangunkusumo, tempat makan ini menyediakan parkir yang luas. Ibad Otoy biasanya lebih ramai saat malam hari. Buka Senin-Sabtu pukul 07.30-22.00. Semua tempat memiliki rasa dan keunikannya masing-masing. Tergantung selera lidah masing-masing. Tapi yang pasti, harganya tak akan bikin kantong bolong. Jika berkunjung ke Cirebon, jangan lewatkan mencicipi makanan khas Cirebon ini.

BUKU

De Residentie Cheribon

Jejak Cirebon dalam catatan buku berbahasa Belanda tahun 1876. Ada yang bisa bacanya??? Ditunggu yah terjemahannya 😆

WISATA

Kapan Ziarah Ramah Peziarah?

Simalakama Kotak Amal & Peminta-mita Komplek Makam SGJ Oleh mustain* Peziarah butuh kenyamanan berziarah.  Namun nyatanya kenyamanan itu terasa maya,  jauh sebelum sampai tahlil berjama’ah di depan Pintu Pasujudan. Oleh kotak tanpa identitas dan peminta-minta yang tak bersahabat, kenyamanan dibegal di tengah jalan. Duh, Kenyamanan ziarah benar-benar terampas.  SAMPAI KAPAN? Angin segar wisata ziarah ketika Menteri Arief Yahya menyebutkan bahwa Kementerian Pariwisata akan fokus pada tiga hal untuk membangun dan memperbaiki tata kelola destinasi wisata ziarah, yakni pemasaran, destinasi, dan Sumber Daya Manusia (SDM). Masih menurut Menteri Arief, mulai tahun depan, per satu lokasi destinasi wisata ziarah akan dialokasikan dana Rp 1 miliar untuk biaya pengelolaan destinasi khususnya sanitasi bersih. Sementara terkait SDM, pihaknya akan menyiapkan 100 orang perlokasi untuk memberikan bimbingan teknis soal hospitality di sebuah destinasi wisata ziarah. Lepas dari perdebatan peristilahan wisata kok ziarah, ziarah kok jadi wisata. di Cirebon banyak destinasi wisata ziarah. Salah satu yang banyak dikunjungi adalah Situs Makam Sunan Gunung Jati (SGJ), apalagi kalau malam Jum’at Kliwon. Destinasi ini terletak di desa Astana, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon, tak pernah lekang dari peziarah, tak pernah senyap dari gemuruh tahlil, non stop 24 jam.  Untuk Cirebon, kawasan ziarah Makam SGJ harusnya menjadi prioritas dilakukan pembenahan, utamanya SDM. Untuk revitalisasi fisik bangunan, sedikit banyak sudah pernah dilakukan pada era menteri Agung Laksono. Dan sebenarnya, tak harus sepenuhnya mengandalkan pecingan (kucuran dana segar) dari Kemenpan, pembenahan yang dimaksud ini bisa dilakukan segera oleh pihak-pihak yang punya otoritas di Komplek Makam SGJ. Selama ini isu utama keluhan yang membuat kawasan ziarah makam SGJ dinilai tak ramah para peziarah adalah peminta-minta. Beragam tipe dan modus peminta-minta di Komplek makam SGJ, yang sangat dikeluhkan para peziarah adalah peminta-minta yang memaksa bahkan menarik-narik baju, yang menguntit dari parkiran mobil hingga depan gapura pertama memasuki area komplek makam SGJ. Di tambah lagi, di gapura tersebut dihadang kotak-kotak tanpa identitas. Sampai Kapan Peminta-minta? Ahmath Saefudin, seorang peziarah dari Jakarta, mengeluhkan perilaku peminta-minta di kawasan ziarah makam SGJ. Saat itu selesai tahilan, ia keluar dari komplek makam SGJ, langsung menjadi target peminta-minta usia sekitar 15 tahun ke atas. Ia sudah meminta maaf tidak bisa kasih, malah si peminta-minta terus memaksa dan menguntit hingga parkiran mobil. Itu hanya satu di antara sekian keluh kesah para peziarah di komplek makam SGJ. Sebagian cerita keluh kisah itu bisa dengan mudah kita temukan di media sosial dan blog maupun website. Rata-rata para peziarah yang mengeluhkan perilaku peminta-minta di komplek makam SGJ kadang selalu membandingkannya dengan kawasan ziarah makam-makam wali songo lainnya. Mereka seragam berpendapat, perilaku peminta-minta di kawasan makam SGJ sangat mengganggu dan membuat suasana hati tak nyaman. Di kawasan makam wali songo lainnya tidak ditemukan perilaku peminta-minta se–mengganggu ini. Mungkin saja praktek Peminta-minta di kawasan ziarah makam SGJ tidak bisa dihentikan atau diusir. Karena (katanya) di masa lampau sudah pernah ditindak aparat keamanan pun, seminggu kemudian mereka beraksi lagi. Untuk itu, sepertinya perilaku mereka cukup ditatakramakan kembali agar lebih sopan, dan perlu pengawasan intensif di lapangan. Ini sangat dibutuhkan peran serta para pemangku kebijakan, baik dari pihak keraton maupun pemerintahan setempat. Katakanlah ini penanganan jangka pendek, tapi siapa tahu penuh greget, bisa berefek panjang ke arah yang lebih baik terhadap image wisata ziarah di Cirebon. Untuk mentatakramakan perilaku mereka, setidaknya diperlukan semacam papan reklame dan sejenisnya, berisikan himbauan kepada para peziarah dalam menyikapi peminta-minta. Sertakan juga aturan main, sanksi atau efek jera, bagi peminta-minta yang berperilaku ‘preman’.  Untuk penegasan, perlu juga terpampang foto sultan dan petinggi pemerintahan setempat pada papan reklame atau spanduk tersebut. Nantinya dipasang di tempat-tempat strategis, utamanya jalur sepanjang parkiran mobil menuju komplek makam SGJ. Dan diperlukan sepanjang jalur tersebut disiagakan beberapa petugas agar bisa ‘menjewer’ peminta-minta jika masih nakal dan meresahkan. Mungkin saja usul se-uprit di atas dipandang tidak efektif. Namun, Seefektif apapun tindakannya, persoalan yang sudah sangat mengakar dan sudah diketahui umum itu harusnya sudah selesai jika ketegasan dan keberanian benar-benar ada. Sampai Kapan Kotak Amal Penghalang Ziarah? Sesungguhnya sampai saat ini tidak ada tiket masuk bagi para peziarah yang hendak berziarah di komplek makam SGJ. Namun, kotak-kotak amal beserta penunggunya yang berderet di gapura pertama jalur masuk para peziarah, memberi kesan yang berbeda. Apa gerangan? Meresahkan: Kotak Amal & Penunggunya di Gapura paling depan Sekilas mungkin tak jadi persoalan keberadaan kotak-kotak beserta penunggunya itu. Kita kasih saja seikhlasnya, seadanya kita mau kasih. Kalau pun kita tidak ada krenteg ning ati (niat) mau kasih, karena mungkin tidak ada duit recehan, kita bisa langsung berlalu saja langsung menuju lokasi ziarah sembari sopan adat ketimuran dengan bahasa tubuh memohon maaf tidak bisa kasih. Tapi fakta merekam, kotak-kotak amal dan penunggunya itu menjadi keluhan dan keresahan kebanyakan peziarah. Apa sebab? Sebut saja Ninuk, dalam salah satu portal informasi wisata, ia mengkisahkan pengalamannya berziarah di komplek makam SGJ. Ia mengalami langsung, menurutnya gebrakan tangan penunggu kotak amal menakut-nakuti peziarah apabila menolak untuk mengisi kotak. Dalam kisahnya Ninuk menyebutkan, berdasar informasi dari guidenya, upaya menertibkan konon sudah pernah ada. Sultan pernah memerintahkan mereka untuk berhenti meminta donasi tidak resmi tersebut, namun seminggu-dua minggu kemudian timbul kembali. Pengalaman serupa dialami Nanang, ia tidak ada duit receh hingga tak ada niat mengisi kotak, dengan bahasa tubuh yang sopan ia pun mengutarakannya, namun dihalangi untuk berlalu lewat dan memaksanya untuk mengisi kotak. Ia pun terpaksa mengeluarkan duit bukan recehan, dan sudah bisa ditebak pasti tidak bakal ada duit kembalian. Dengan perilaku menghalangi dan memaksa dari penunggu kotak itu, bermunculan tanya bernada su’udhon, sungguh di kemanakan isi kotak itu? Apakah benar untuk kebutuhan pemeliharaan komplek makam SGJ? Atau masuk ke kotak kantong pribadi dengan mencatut kuasa sultan? Perlu penelusuran lebih lanjut untuk menemukan ujung jejaknya. Namun bagaimanapun, dengan kasat mata melihat perilaku mereka, itu sudah cukup bagi kita untuk mengatakan alangkah indahnya jika jalur utama menuju komplek makam SGJ terbebas dari ranjau kotak-kotak yang meresahkan. Steril selamanya, demi kenyamanan para peziarah. Kotak infaq Pengajiandepan lawang Krapyak Di area dalem kawasan komplek makam SGJ, di samping Paseban Soko/Paseban Brai dan depan Lawang Krapyak sebelum masuk pekemitan/pesambangan, sebenarnya ada kotak amal juga. Tapi sepertinya berbeda, kotak amal tersebut sudah jelas peruntukannya dan

TRADISI

Anomali Nadran Gunung Jati

A. Pendahuluan Hampir setiap tahun masyarakat Cirebon khususnya masyarakat petani dan nelayan yang tinggal di Kecamatan Cirebon Utara (sekarang Kecamatan Gunungjati dan Suranenggala) selalu mengadakan upacara Nadranan. Upacara Nadranan berlangsung tiga hari tiga malam. Puncak dari serangkaian upacara yang berlangsung tiga hari tiga malam tersebut terjadi pada acara-acara sebagai berikut : Ider – Ideran atau Helaran yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat Cirebon, mulai dari Sultan, Kerabat Keraton, Wong Kraman, seniman, budayawan, pedagang, nelayan dan petani. Ider – ideran nadran Gunung Jati berbentuk ider naga, yaitu pola ider-ideran yang berlawan dengan jarum jam. Lelumban atau lumbanan, adalah acara lelumban berangkat dari kanal condong menuju Muarajati (Bengawan Celangcang). Dari awal sampai akhir perjalanan lelumban ada beberapa stasiun-stasiun pemberhentian perahu antara lain adalah: – Situs Nyi Rinjing (Condong) – Situs Ki Alap-alap (Condong) – Situs Ki Pandu (Muara) – Situs Ki Ilir (Muara) Ruatan Sedekah Bumi di Bangsal Peringgitan Astana GunungjatiRuatan Budug Basu ditepi Kali Condong. Di malam harinya seluruh jenis tontonan atau hiburan ditampilkan didepan alun-alun Astana Nurgiri Ciptarengga. Jenis-jenis tontonan tersebut adalah wayang kulit, wayang cepak, topeng, sandiwara, tarling dan organ tunggal. Rombongan kesenian tersebut tampil di acara Nadran ini tanpa diberi bayaran. Mereka melakukan semua ini demi atur bakti kepada Sunan Gunung Jati dan leluhur-leluhur pendiri Cirebon. Mereka hanya diberi konsumsi oleh para juru rawat makam Sunan Gunung Jati. Walaupun tidak dibayar namun para rombongan kesenian ini melakukannya dengan penuh keikhlasan. Mereka mengadakan pagelaran dihadapan Astana Nurgiri Ciptarengga ini untuk melakukan nadzar sebagai rasa syukur kepada Allah SWT atas dilimpahkannya rejeki kepada mereka. Begitu pula dengan rombongan pecara-pecara yang diarak dalam ider-ideran. Pecara ini dibuat oleh warga dari masing-masing RW (Rukun Warga) yang tinggal di dekat Kecamatan Cirebon utara. Biaya yang dihabiskan setiap RW dalam membuat pecara ini jumlahnya relatif. Ada yang menghabiskan biaya 4 juta, 7 juta bahkan ada suatu RW yang menghabiskan biaya hingga 12 juta lebih. Biaya yang tidak sebanding jika upaya yang mereka lakukan kalau hanya untuk mendapat hadiah juara satu yang hanya berupa seekor kambing. Upacara Nadranan telah mengalami dinamika yang cukup panjang sepanjang usia Cirebon yang telah memasuki enam abad lebih. Kini Upacara Nadranan tidak hanya milik masyarakat Kecamatan Gunung Jati dan Suranenggala saja, namun telah menjadi milik seluruh masyarakat Cirebon dari seluruh lapisan masyarakat. B. Asal-usul Upacara Nadran Banyak yang tidak tahu mengenai asal-usul upacara Nadran di Gunung Jati. Sebetulnya penggagas dari upacara Nadran tersebut adalah Ki Ageng Tapa atau Ki Jumajan Jati sang Juru Labuan Muara Jati yang mensyukuri putrinya telah menamatkan pendidikan pesantrennya di Karawang. Iring-iringan ider-ideran di mulai dari pesantren Pasambangan Jati yang di asuh oleh Syeikh Nurjati. Pada waktu itu Pasambangan Jati selain sebagai pusat Pendidikan Islam juga berfungsi sebagai pusat perdagangan. Pedagang-pedagang dari pedalaman datang melalui jalur darat dan jalur sungai bertemu di pusat perputaran ekonomi di Pasambangan Jati sebagaimana di beritakan oleh naskah Purwaka eng Giri Caruban Nagari. Kala Samana Sinuka Sembung lawan ngamparan jati huwus mangadeg lawas. Pasambangan Dukuh wastanya //pratidina janmapadha ikang doh-tinuku samya atekeng engke / i sedheng parireran kang prahwa muhara jati dumudi akrak / mapan ri nanawidha kang palwa nintyasa mandeg enkene // pantura ning yata sakeng cina nagari / nyarab / parsi / indiya/ Malaka / tumasik / pase(h) / jawa wetan Madura lawan Palembang / (Acha, 1986, 121-122). Pada syukuran Ki Ageng Tapa yang merasa bahagia atas keberhasilan putrinya mendalami agama Islam kepada Syeikh Kuro di dukung pula oleh Syeikh Nurjati dan seluruh masyarakat pedagang nelayan dan petani yang merasa berterima kasih kepada Ki Ageng Tapa karena mereka diberi tempat untuk memasarkan hasil mata pencahariannya di pasar Pasambangan Jati. Ider-ideran juga memiliki makna untuk syiar Islam kepada masyarakat Cirebon yang pada saat itu masih banyak yang belum memeluk agama Islam. Dalam ider-ideran yang di arak menuju kediaman Ki Ageng Tapa di desa Singhapura (sekarang Sinarbaya) tidak hanya di ikuti oleh bangsa manusia tetapi juga diikuti oleh bangsa Jin, Peri, Setan, Siluman dan Sileman Merakayangan. Wujud mereka macam-macam, ada yang berupa hewan darat, hewan laut, binatang melata dan makhluk prabangsa. Wujud mereka ada yang berupa buaya, ular naga, bulus, ikan, macan, gajah, kerbau, kuda dan lain-lain. Selain makhluk-makhluk dari berbagai jenis yang menghuni Cirebon mereka juga ada yang datang dari negeri jin dan bangsa alus lainnya, antara lain dari Tanjung Karoban (alas roban) yang berbentuk manusia yang berkulit hitam legam. Dari Ujung Krangkeng, Ujung Kapetakan, Ujung Pekik yang berupa buaya dan hewan laut yang menakutkan, juga ada yang datang dari Tajung Bang (Ujung Gebang) yang berupa siluman dengan wujud hewan darat. Menurut Hasanudin, kliwon dari Desa Martasinga, mengatakan bahwa ‘peran serta bangsa merkayangan dan bangsa alus lainnya dalam ider-ideran Keraton Singapura ini adalah karena mereka merasa terayomi dengan kedatangan Islam yang dibawa oleh Syeikh Nurjati dan Syeikh Kuro, apalagi Sekar Kedaton Keraton Singapura telah memeluk agama Islam. Islam sebagai agama rahmatan lil alamin telah dirasakan juga oleh bangsa gaib ini.’ Ider-ideran Keraton Singapura yang berbentuk ider naga ini dimulai dari Pasambangan Jati atau Bukit Amparan Jati menuju Singhapura (sekarang Desa Sirnabaya). Selama ider-ideran berjalan menuju arah utara, kelompok manusia dari pemukiman-pemukiman yang dilewati langsung ikut bergabung dengan rombongan begitu pula dengan bangsa siluman yang keluar dari kampung dan hutan yang dilewati juga ikut bergabung. Tidak ketinggalan juga bangsa siluman yang datang lewat Kali Pekik, Terusan Condong, Bengawan Ciliru (Bondet), Bengawan Celangcang dan Bengawan Kapetakan ikut bergabung. Ider-ideran ini dimulai setelah dhuhur dan sampai ke Singhapura menjelang magrib. Pada waktu magrib ider-ideran ini melakukan sholat magrib ditempat pemberhentian mereka. Lampu penerangan yang digunakan adalah obor dan damar sewu. Setelah berakhir di Singhapura mereka diterima oleh Ki Ageng Tapa dan Sekar Kedaton Singhapura yaitu Ratna Subang Kranjang atau Dewi Kencana Larang. Pada waktu Pangeran Walangsungsang menjadi Tumenggung Cirebon dengan gelar Tumenggung Sri Mangana, ider-ideran ini keraton Singhapura ini tetap di laksanakan. Pangeran Cakrabuana tidak mengubah sedikitpun bentuk ider-ideran ini. Pola ider naga yang berbentuk berlawanan dengan arah jarum jam juga tetap di laksanakan karena tujuan dari ider-ideran ini menuju Keratuan Singhapura. Walaupun Ki Ageng Tapa dan Ratna Subang Kranjang ( Ibu dari Pangeran Cakrabuana ) telah wafat, namun tidak mengubah tempat tujuan

BIOGRAFI, MAESTRO

Rastika: Seniman Lukis Kaca Cirebon

Warisan Indonesia/Hardy Mendrofa/2011 Lahir di Gegesik Kulon, Kecamatan Gegesik, Cirebon, Jawa Barat pada tahun 1942. Anak pasangan Tarsa dan Rubiyem ini belajar melukis sejak usia 10 tahun. Kepandaian sang kakek yang semasa hidupnya terkenal sebagai seorang pengukir keris rupanya menurun kepadanya. Ketika duduk di bangku sekolah, secara diam-diam Rastika suka menggambari Sabak (batu tulis) dengan motif wayang Cirebon. Secara otodidak, Rastika mulai belajar mengenai motif batik Cirebon yang menyertai seorang tokoh wayang. Tahun 1960-an, ketika berusia belasan tahun, Rastika mulai melukis diatas kertas. Tetapi, ketika ia melihat para pelukis kaca senior seperti Maruna, Saji dan Sudarga melukis diatas kaca, secara diam-diam Rastika mencobanya di rumah, lalu ia tunjukan kepada Sudarga. “Dia bilang lukisan saya bagus”,”ujarnya. Dari situlah Rastika mulai menekuni melukis diatas kaca dan pembeli lukisan pertamanya bernama Sukirno, tetangganya sendiri. Narasi lukisan Rastika umumnya merupakan suatu penggambaran antara baik dan buruk, hukuman dan kejahatan, angkara dan samadi, dalam pola dan motif yang berasal dari kisah-kisah legenda dan pewayangan, dengan motif campuran antara Jawa-Hindu, Islam dan Cina yang telah bertranformasi. Tahun 1977, Rastika ikut serta berpameran di Pasar Seni ITB, ia di ajak oleh pelukis Hariadi Suadi yang juga dosen seni grafis Fakultas Seni Rupa ITB. Waktu itu Rastika berpameran bersama Sudarga, masing-masing memamerkan lima lukisan. Lukisan Semar dengan Dua Kalimat Syahadat karya Rastika pun terpampang dSejak itulah namanya mencuat. Banyak orang yang mengemari karyanya. Seingat Rastika sampai sekarang, ia sudah berpameran sebanyak 15 kali, baik bersama-sama maupun tunggal. Tetapi, tak ada satu pameran yang ia selenggarakan sendiri, “Semuanya di prakarsai orang”, katanya. Pameran tunggal dan bersamanya antara lain di Taman Ismail Marzuki, Bentara Budaya, dan berbagai hotel di Jakarta. Lukisan kacanya juga pernah ditampilkan dalam Pekan Raya Jakarta 1978, di Mitra Budaya milik perkumpulan pencinta kebudayaan di Jakarta, bahkan ketika Semarang mengadakan pameran kaligrafi dalam MTQ Xl Rastika juga turut serta. Pernah mempersembahkan lukisan kaligrafi Semar dengan Dua Kalimat Syahadat yang dibuatnya kembali kepada Presiden Soeharto dalam upacara pembukaan Museum Indonesia di TMII. Lukisan-lukisannya banyak dimiliki oleh para kolektor antara lain : Karna Tanding, Begawan Mintaraga, Anoman Obong, Aji Candrabirawa, Bima Suci dan Kumbakarna Gugur. Salah satu lukisannya diberi nama Citra Indonesia terpampang dimuseum Indonesia TMII. karya-karya Rastika, kini juga bisa dilihat di Museum Wayang, Jakarta Selain melukis diatas kaca, Rastika juga mahir dalam sungging dan tatah wayang kulit serta wayang golek cepak. Ia pun sangat pandai menabuh gamelan dan ikut bergabung dalam satu kelompok pertunjukan wayang kulit di desanya. Membuat sebuah galeri kecil didepan rumahnya, di Gegesik Kulon, Gegesik, Cirebon, Jawa Barat yang melahirkan karya-karya yang unik dalam khasanah seni lukis Indonesia. Nama : Rastika Lahir : Gegesik Kulon, Gegesik, Cirebon, Jawa Barat 1942 Pendidikan : Sekolah rakyat(hanya sampai kelas 5), Penghargaan : Bentara Budaya Award (2012) sumber: Taman Ismail Marzuki

BIOGRAFI, MAESTRO

Biografi Syekh Nurjati

Syekh Nurjati dikenal sebagai tokoh perintis dakwah Islam di wilayah Cirebon. Beliau menggunakan nama Syekh Nurjati pada saat berdakwah di Giri Amparan Jati, yang lebih terkenal dengan nama Gunung Jati, sebuah bukit kecil dari dua bukit, yang berjarak + 5 km sebelah utara Kota Cirebon, tepatnya di Desa Astana Kecamatan Gunung Jati Kabupaten Cirebon. Sebelumnya Syekh Nurjati dikenal dengan nama Syekh Datul Kahfi atau Maulana Idhofi Mahdi. Secara kronologis singkat, Syekh Nurjati lahir di Semenanjung Malaka. Setelah berusia dewasa muda pergi ke Mekah untuk menuntut ilmu dan berhaji. Syekh Nurjati pergi ke Bagdad dan menemukan jodohnya dengan Syarifah Halimah serta mempunyai putra- putri. Dari Bagdad beliau pergi berdakwah sampai di Pesambangan, bagian dari Nagari Singapura (sekarang Desa Mertasinga,  Kabupaten Cirebon). Beliau wafat dan dimakamkan di Giri Amparan Jati. Cerita tentang Syekh Nurjati dijumpai dalam naskah-naskah tradisi Cirebon yang merupakan bukti sekunder. Naskah-naskah tersebut berbentuk prosa, diantaranya : Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Tanah Sunda dan Sejarah Cirebon. Serta naskah yang berbentuk tembang di antaranya  Carub Kanda, Babad Cirebon, Babad Cerbon terbitan S.Z. Hadisutjipto, Wawacan Sunan Gunung Jati, Naskah Mertasinga, Naskah Kuningan dan Naskah Pulasaren.  Dari sekian banyak naskah hanya naskah Babad Cirebon terbitan Brandes saja yang tidak memuat tentang Syekh Nurjati. Sedangkan naskah tertua  yang menulis tentang Syekh Nurjati dibuat oleh Arya Cerbon pada tahun 1706 M. Syekh Nurjati di Tempat Kelahiran, Malaka, Pertengahan Abad ke-14 Syekh Nurjati ketika lahir dikenal dengan nama Syekh Datuk Kahfi, putra dari Syekh Datuk Ahmad, seorang ulama besar. Syekh Datuk Ahmad putra dari Maulana Isa, yang juga seorang tokoh agama yang berpengaruh pada zamannya. Syekh Datuk Ahmad mempunyai adik yang bernama Syekh Datuk Sholeh, ayahanda dari Syekh Siti Jenar (Abdul Jalil). Jadi Syekh Datul Kahfi adalah saudara sepupu dari Syekh Siti Jenar. Maulana Isa adalah putra dari Abdul Kadir Kaelani. Abdul Kadir Kaelani adalah putra dari Amir Abdullah Khanudin, keturunan Nabi Muhammad SAW generasi ke tujuh belas dari jalur Zaenal Abidin. Syekh Datuk Kahfi memiliki dua orang adik, yaitu Syekh Bayanullah yang mempunyai pondok di Mekah, yang kemudian mengikuti jejak kakaknya berdakwah di wilayah Cirebon; serta seorang adik wanita yang menikah dengan Raja Upih Malaka. Buah dari perkawinan tersebut lahirlah seorang putri  yang kelak  menikah dengan Dipati Unus dari Demak. Syekh Nurjati Menuntut Ilmu dan Pergi Haji ke Mekah Sehubungan dengan lamanya Syekh Nurjati bermukim di Mekah, maka sebagian naskah menyatakan bahwa Syekh Nurjati berasal dari Mekah. Syekh Nurjati Pergi ke Bagdad dan Menemukan Jodohnya dengan Syarifah Halimah Setelah menuntut ilmu di Mekah, Syekh Nurjati mencoba mengamalkan ilmu yang diperoleh dengan mengajarkannya di wilayah Bagdad. Di Bagdad Syekh Nurjati menikah dengan Syarifah Halimah, putri dari Ali Nurul Alim.  Ali Nurul Alim putra dari Jamaludin al Husain dari Kamboja, yang merupakan putra dari Ahmad Shah Jalaludin, putra Amir Abdullah Khanudin. Jadi, Syekh Nurjati menikah dengan saudara secicit. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai empat orang anak, yakni Syekh Abdurakhman (yang kelak di Cirebon bergelar Pangeran Panjunan), Syekh Abdurakhim (kelak bergelar Pangeran Kejaksan),  Fatimah (yang bergelar Syarifah Bagdad), dan Syekh Datul Khafid (kadang-kadang disebut juga sebagai Syekh Datul Kahfi, sehingga membuat rancu dengan sosok ayahnya yaitu Syekh Datuk Kahfi, atau Syekh Nurjati di beberapa manuskrip yang lebih muda umurnya, contohnya Babad Cirebon Keraton Kasepuhan). Keempat anak tersebut dijamin nafkahnya oleh kakak Syarifah Halimah, Syarif Sulaiman yang menjadi raja di Bagdad (1). Syarif Sulaiman menjadi raja di Bagdad karena menikahi putri mahkota raja Bagdad. Syekh Nurjati hidup pada abad pertengahan, antara abad 14-15 dan pernah bermukim di Bagdad (sekarang Bagdad merupakan ibukota Irak). Kondisi sosial ekonomi Bagdad pada rentang abad 14-15 sedang mengalami keemasan. Para filosof muslim mencapai puncak kejayaannya pada masa itu. Kondisi tersebut sangat memungkinkan ikut membentuk keluasan pikir Syekh Nurjati. Hal ini membantu kelancaran dakwahnya (2) . Di Bagdad Syekh Nurjati hidup dan berumah tangga dan dikaruniai empat orang putra-putri. Kemudian Syekh Nurjadi diutus oleh Raja Bagdad untuk berdakwah di tanah Jawa serta menuruti suara hati nuraninya. Seraya memohon petunjuk kepada Allah SWT, Syekh Nurjati bersama istrinya, Syarifah Halimah pergi berkelana untuk berdakwah meninggalkan keempat anaknya yang masih kecil-kecil. Dalam perjalanannya, sampailah Syekh Nurjati  di Pelabuhan Muara Jati dengan penguasa pelabuhan/ syahbandarnya bernama Ki Gedeng Tapa/ Ki Ageng Jumajan Jati. Sesampainya mereka di Pelabuhan Muara Jati, Syarifah Halimah berganti nama menjadi Nyi Ratna Jatiningsih/ Nyi Rara Api. Syekh Nurjati Pergi Berdakwah ke Pesambangan Perkampungan yang dekat dengan pelabuhan Muara Jati disebut Pesambangan. Diceritakan dalam Carita Purwaka Caruban Nagari, dalam Sejarah Banten, juga dalam Naskah Mertasinga, bahwa Syekh Nurjati/Syekh Idofi Mahdi/ Syekh Datuk Kahfi, mendarat di Muara Jati  setelah pendaratan Syekh Quro dan rombongan. Syekh Nurjati bersama rombongan dari Bagdad sebanyak sepuluh orang pria dan dua orang perempuan tiba di Muara Jati. Rombongan ini diterima oleh Penguasa Pelabuhan Muara Jati, Ki Gedeng Tapa/Ki Mangkubumi Jumajan Jati sekitar tahun 1420 M. Syekh Nurjati mendapatkan ijin dari Ki Gedeng Tapa untuk bermukim di daerah Pesambangan(3), di sebuah bukit kecil yang bernama Giri Amparan Jati. Di tempat baru tersebut, Syekh Nurjati giat berdakwah sebagai dai’ mengajak masyarakat untuk  mengenal dan memeluk agama Islam.    Setelah mendengar tentang agama baru itu, orang-orang berdatangan dan menyatakan diri masuk Islam dengan tulus ikhlas. Semakin hari semakin banyak orang yang menjadi pengikut Syekh Nurjati(4). Dalam interaksinya dengan masyarakat sekitar, akhirnya Syekh Nurjati menikah dengan Hadijah. Hadijah adalah cucu Haji Purwa Galuh (Raden Bratalegawa, orang pertama yang pergi berhaji dari Jawa Barat, yang saat itu masih bernama Kerajaan Galuh), janda dari seorang saudagar kaya raya yang berasal dari Hadramaut.  Dengan pria tersebut Hadijah tidak dikaruniai putra, namun setelah pria tersebut meninggal dunia, Hadijah memperoleh seluruh harta warisan dari suaminya. Setelah suaminya meninggal dunia, Hadijah bersama kedua orang tuanya pulang ke Kerajaan Galuh dan menetap di Dukuh Pesambangan. Harta warisan tersebut digunakan Hadijah bersama suami barunya, yaitu Syekh Nurjati untuk membangun sebuah pondok pesantren yang bernama Pesambangan Jati. Pernikahan Syekh Nurjati dengan Hadijah  dikaruniai seorang putri yang  bernama Nyi Ageng Muara, yang kelak menikah dengan Ki Gede Krangkeng. Krangkeng sekarang merupakan nama sebuah kecamatan di Kabupaten Indramayu. Pondok Pesantren Pesambangan Jati  adalah pondok pesantran tertua di wilayah Cirebon (saat itu masih bernama Nagari Singapura) dan

Scroll to Top